Jakarta, Aktual.com — Dukungan Partai Gerindra terhadap wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD yang sebelumnya diusulkan Partai Golkar dinilai menunjukkan menguatnya konsolidasi elite partai besar. Langkah ini dipandang bukan sekadar perubahan sistem pemilihan, melainkan bagian dari penataan ulang peta kekuasaan politik di daerah.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago, menilai dorongan pilkada lewat DPRD yang datang dari Gerindra bersama Golkar, PKB, dan PAN akan memberi keuntungan struktural bagi partai-partai besar yang memiliki kursi dan jaringan fraksi kuat di parlemen daerah.
“Dalam pilkada langsung, partai kecil masih punya ruang melalui figur populer atau koalisi yang cair. Kalau lewat DPRD, ruang itu menyempit drastis. Politiknya menjadi lebih eksklusif,” ujar Arifki.
Menurutnya, skema tersebut berpotensi meminggirkan partai kecil dan calon independen yang selama ini mengandalkan dukungan langsung dari pemilih. Sebaliknya, penentuan kepala daerah akan lebih ditentukan oleh kesepakatan elite partai di parlemen.
Situasi ini, kata Arifki, menempatkan PDI Perjuangan dan Partai Demokrat pada posisi yang tidak ringan. Tanpa membangun poros baru, kedua partai tersebut berisiko berhadapan dengan blok besar yang telah lebih dulu mengunci arah pembahasan perubahan sistem pilkada.
“PDI-P dan Demokrat harus bertemu dengan NasDem, PKS, dan partai-partai kecil lainnya jika ingin punya daya tawar dalam pembahasan RUU Pemilu pada 2026,” jelasnya.
Arifki menilai peluang pilkada lewat DPRD untuk lolos cukup terbuka. Sikap PDI-P dan Demokrat yang menolak dinilai belum konsisten. Demokrat, sebagai bagian dari koalisi pemerintah, akan menghadapi dilema jika menolak terlalu keras. Sementara PDI-P, meski berada di luar kabinet, tetap menjadi pendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“PDI-P dan Demokrat juga belum menunjukkan resistensi kuat. Dalam membangun sekutu baru pun, keduanya masih terkesan berjalan sendiri-sendiri,” ungkapnya.
Jika skema pilkada melalui DPRD diterapkan, Arifki memperkirakan kompetisi politik akan bergeser dari arena publik ke ruang tertutup parlemen. Penentuan kepala daerah pun berpotensi didominasi transaksi dan kompromi elite antarpartai.
“Dalam konfigurasi seperti ini, partai kecil dan yang tidak memiliki poros kuat akan menjadi korban pertama,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















