Jakarta, Aktual.co — Tahun 1960 penduduk China telah mencapai 682 juta jiwa lebih. Pada tahun yang sama penduduk Uni Soviet tercatat 214,2 juta jiwa. Sementara rakyat Indonesia baru mencapai sekitar 97 juta orang lebih.
Semasa itu persaingan dua kubu pemenang Perang Dunia II, antara Blok Barat dipimpin Amerika Serikat dkk dengan Blok Timur dipimpin Uni Soviet (sekarang menjadi Rusia dan Commonwealth Independent State – CIS) dkk, mulai memuncak menjadi Perang Dingin.
Pimpinan kedua Blok pun berlomba menanamkan pengaruh sedalam mungkin ke berbagai negara lain yang berpotensi mendukung kepentingan global mereka. Berbagai pendekatan pun ditempuh melalui tawaran bantuan, mulai dari ranah militer, sosial budaya, maupun ekonomi. Sehingga gejolak di tiap kawasan dan benua mana pun tak terlepas dari kepentingan pengaruh Blok Barat dan Blok Timur.
Suatu kali Ketua Partai Komunis China (PKC), Mao Zedong mendapat laporan dari staf di politbiro, bahwa puluhan provinsi padat penduduk kini terancam bencana kelaparan akibat gagal panen dan banjir besar. Paling tidak ada 200 juta lebih penduduk Cina akan terancam kelaparan. Padahal kondisi keuangan dan stok pangan China sedang kembang kempis.
Mao pun bergegas ke meja telepon hotline di ruang kerjanya. Diangkatnya gagang telpon berwarna merah, lalu Mao memutar dial nomer internasional berkode 007495. Itulah kode area untuk Kremlin, Moskow, tempat pucuk pimpinan tertinggi Blok Timur bersemayam.
Di ujung sana, Nikita Kruschev pimpinan tertinggi Uni Soviet pun segera mengangkat telepon yang berdering itu. Dia langsung menyampaikan salam, “Apa kabar kamerad Mao?”
Dengan segera Mao menyampaikan perlu bantuan pangan segera untuk member makan 200 juta rakyat China yang terancam kelaparan. Selaku sekutu utama Blok Timur, Mao menegaskan, sangat wajar jika Beijing meminta bantuan Moskow.
Atas permintaan itu, Kruschev bingung karena posisi keuangan Uni Soviet pun tengah terpepet akibat tersedot kepentingan strategis membiayai pengadaan prasarana rudal nuklir di Kuba.
Apalagi bantuan pangan bagi 200 juta lebih rakyat China itu sama dengan memberi makan seluruh rakyat Uni Soviet.
Namun agar tidak menyakiti hati mitra utamanya dalam menghadapi ”setan dunia” Inggris Amerika, Kruschev pun menenangkan kegugupan Mao.
“Sabar kamerad Mao, sabar. Saran kami tolong kalian kencangkan ikat pinggang dulu,” katanya.
Mendengar tanggapan itu karuan Mao kesal. Karena kas negara RRC dan PKC juga tengah ludes akibat membiayai bentrok perbatasan China dengan India. Jangankan membeli gandum, membuat seutas tali dari secarik kain pun, Beijing sudah tidak punya uang.
Atas tanggapan Kruschev, ‘politisi Atas tanggapan Kruschev, ‘politisi preman’ yang dalam suatu sidang di PBB pernah menggunakan sepatunya untuk mengetuk-ngetuk meja untuk tanda interupsi itu, maka Mao tanpa canggung lagi langsung menukas.
“Baik kamerad Kruschev, kalau begitu tolong segera kirimi kami sedikitnya 200 juta ikat pinggang.”
Tapi itu dulu, 50 tahun yang lalu. Sekarang baik China maupun Rusia mungkin tak berselisih faham soal ikat pinggang lagi. Karena mereka kini sama-sama tertarik pada sabuk mutu manikam khatulistiwa, alias tol laut sehampar nusantara.
Boleh jadi, Jokowi yang kini butuh ikat pinggang.
Artikel ini ditulis oleh: