Profesor Abdus Salam adalah fisikawan Muslim pertama asal Pakistan yang memenangkan hadiah Nobel Fisika 1979. Nama Abdus Salam amat dikenal sebagai salah satu fisikawan paling menonjol di dunia. Ia kerap menjadi juru bicara bagi Dunia Ketiga bagi perkembangan sains. Salam meraih hadiah Nobel Fisika bersama Steven Weinberg dan Shaldon Lee Glashow.
Penghargaan Nobel itu diberikan atas jasa Salam dalam mengubah kejumudan konsepsi tentang gaya-gaya. Salam termasuk orang pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang berperan dalam alam ini.
Lima gaya itu adalah gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan, serta gaya lemah yang bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif. Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda.
Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya dirumuskan oleh trio Abdus Salam-Sheldon Lee Glashow-Steven Weinberg dalam teori “Unifying the Forces”. Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan Nobel Fisika 1979.
Eksistensi tiga partikel itu telah dibuktikan secara eksperimen tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin Carlo Rubia direktru CERN (Cetre Europeen de Recherche Nucleaire) di Jenewa, Swiss. Ternyata, rintisan Salam itu kemudian mengilhami para fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir, seperti Grand Theory (GT) yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory of Everything-nya Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah, para fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh.
Dr. Robert Walgate, wartawan senior dari New Scientist, pernah mengatakan, “Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang cemerlang dalam mengemban misinya sebagai duta dari tiga dunia: Islam, fisika teori, dan kerja sama internasional.”
Abdus Salam tergolong duta Islam yang baik. Dalam pidato penganugerahan Nobel Fisika di Karolinska Institute, Swedia, Abdus Salam mengawalinya dengan ucapan basmallah. Di situ ia mengaku bahwa riset itu didasari oleh keyakinan terhadap kalimah tauhid. “Saya berharap Unifying the Forces dapat memberi landasan ilmiah terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” kata penulis 250 makalah ilmiah fisika partikel itu.
Dalam makalah Faith and Science, Salam menegaskan, pemahaman sains masa kini sesungguhnya tidak bertabrakan dengan pemikiran metafisika dalam pemahaman agama. “Masalah itu setidak-tidaknya tidak akan terjadi dalam Islam.” Konsep kosmologi modern yang sedang dikembangkan untuk memahami teori penciptaan alam semesta, menurutnya, kini dapat dipahami semakin dekat dengan konsep penciptaan yang diisyaratkan Al-Quran.
“Saya muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Alquran. Al-Quran banyak membantu saya dalam memahami Hukum Alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi, dan kedokteran sebagai tanda bagi seluruh manusia,” kata Abdus Salam dalam satu sidang UNESCO di Paris, 1984.
Dengan makalah The Holy Quran and Science, saat itu ia banyak mengutip ayat. Antara lain Al-Quran 88:17 dan Al-Quran 3:189-190 yang antara lain mengisahkan soal penciptaan langit, bumi, dan seisinya.
Di dalam negerinya, penghargaan terhadap Abdus Salam juga sangat menonjol. Ia pernah diangkat menjadi ketua penasihat keilmuan bagi Presiden Ayub Khan selama 11 tahun hingga 1974. Peran tersebut ia akhiri dengan mengundurkan diri pada tahun itu semasa pemerintah Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto, karena pemerintah mensahkan undang-undang yang dianggap mendiskriminasi penganut Ahmadiyah.
Reputasi internasionalnya juga segudang. Salam pernah menjadi guru besar fisika teoritis di Imperial College of Science and Technology di London selama 1957-1993. Ia mendirikan International Centre for Theoretical Physics di Trieste, Italia, dan menjadi direktur lembaga tersebut selama 1964-1993. Di tempat ini ia berusaha keras mendidik ilmuwan-ilmuwan muda, terutama dari Dunia Ketiga.
Profesor Salam menjadi anggota kehormatan di puluhan akademi ilmu pengetahuan pelbagai negara. Ilmuwan kelahiran 29 Januari 1929 di Desa Jhang, Lahore, Pakistan, itu menerima 40 anugerah ilmu pengetahuan dari berbagai negara dan lembaga internasional. Dalam usia sangat muda, 22 tahun, Salam meraih doktor fisika teori dengan predikat summa cumlaude di University of Cambridge, sekaligus meraih Profesor fisika di Universitas Punjab, Lahore. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai rata-rata 10 di St. John’s College, Cambridge.
Dan sebagai muslim, Salam sangat gundah terhadap kerangka pemikiran parsial para fisikawan yang bertahan berkembang hingga tahun 1960-an. Melalui serangkaian riset, Salam memadukan gaya-gaya dalam satu formula yang disebut Penyatuan Gaya-gaya. Ia dengan Steven Weinberg — masing-masng berkerja sendiri-sendiri — berhasil menemukan formula yang memadukan gaya lemah dan gaya elektromagnetik. Konsep baru ini ia paparkan bersama fisikawan Yahudi kelahiran AS itu dalam forum ilmiah internasional 1967. Dari sinilah ia menyabet Nobel.
Salam memadukan puisi, sastra, fisika, dan matematika dalam hidupnya. Itu karena ia mencintai rasionalitas dan keindahan. Salah satu kegemarannya ialah membaca karya sastrawan Muslim, Omar Khayam.
Ia pun tak merasa ada pertentangan antara sains dengan agama yang ia anut. Baginya, sembari mengutip Carl Jung, “Setiap orang membutuhkan agama.” Dan, apa yang ia pelajari memperkuat religiusitasnya.
Salam meninggal dunia di rumahnya di daerah Oxford, Inggris, pada 21 November 1996. Jenazah ilmuwan itu dibawa ke Pakistan untuk dimakamkan di negeri asalnya. Menurut Abdul Wahab, saudara kandung Abdus Salam, fisikawan berusia 70 tahun tersebut meninggal setelah beberapa lama menderita penyakit Parkinson — sakit sejenis yang dialami petinju legendaris Muhammad Ali. Ia meninggalkan seorang istri, dua anak lelaki, dan empat anak perempuan.
Salam adalah satu dari beberapa tokoh muslim sebelumnya yang pernah meraih Hadiah Nobel. Mereka adalah Presiden Mesir Anwar Sadat (Nobel Perdamaian 1978), Naguib Mahfoud (Nobel Sastra 1988), Presiden Palestina Yasser Arafat (bersama dua rekannya dari Israel, Nobel Perdamaian 1995).
Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Pakistan itu mendapat tak kurang dari 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburgh (1971), Universitas Trieste (1979), Universitas Islamabad (1979), dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, Cina, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
Menjadi anggota kehormatan dari Akademi Ilmu Pengetahuan AS dan Rusia, ternyata tidak menghambatnya untuk berkiprah di sejumlah negara berkembang. Itu juga dilakukannya ketika ia bertugas di Komite Sains PBB dan 35 organisasi profesi ilmiah.
Maka, tak aneh, bila mantan Vice Presiden dari International Union of Pure and Applied Phyusics (IUPAP) 1972-1978 itu pun meraih tujuh penghargaan atas kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian dan kerjasama iptek internasional. Antara lain Atoms for Peace Medal and Award dari Atoms for Peace Foundation (1968), First Edinburgh Medal and Prize dari Skotlandia (1988), “Genoa” International Development of Peoples Prize dari Italia (1988) dan Catalunya International Prize dari Spanyol (1990).
Artikel ini ditulis oleh: