Senyum selalu mewarnai wajah Ahmad Taufik bin Abubakar Al-Jufri, jurnalis muda progresif ini. Terkadang ia juga banyak bergurau dan cengar-cengir kepada teman-teman jurnalis lain. Tidak terlihat ada beban di raut wajahnya, walau faktanya ia harus masuk penjara karena aksi perlawanannya melawan penindasan pers oleh penguasa Orde Baru.
Itulah yang saya kenang, ketika saya menjenguknya di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta, dan juga di LP Cirebon, tahun 1990-an lalu. Ahmad Taufik, jurnalis Majalah Tempo yang jadi korban pembreidelan oleh rezim Soeharto pada 21 Juni 1994, memang menjalani hidupnya dengan tabah.
Salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang sempat menjabat Ketua Presidium AJI ini, telah berpulang ke Rahmatullah pada Kamis (23/3) di RS Medistra, Jakarta. Taufik wafat karena penyakit kanker paru-paru stadium 4 yang dideritanya. Juga ada komplikasi ke bagian hati.
Awalnya, Taufik bersama sejumlah jurnalis lain adalah korban pembreidelan. Pada 21 Juni 1994, rezim Soeharto membreidel tiga media —Tempo, DeTik, dan Editor- karena tiga media ini bersikap kritis terhadap rezim.
Bagi jurnalis dan karyawan jebolan Tempo, rezim Soeharto sebetulnya sudah memberi alternatif. Yakni, didirikannya Majalah Gatra, yang didanai oleh pengusaha yang dekat dengan Soeharto, yakni “raja hutan” Bob Hassan. Secara ekonomi dan kelangsungan nafkah, opsi ini memberi solusi, walau jelas Gatra tidak akan sanggup sekritis Tempo pada zaman represif itu.
Para jurnalis eks-Tempo saat itu terbelah. Separuhnya bergabung ke Gatra. Separuh yang lain –termasuk Taufik, Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, yang menolak bergabung ke Gatra, sempat terkatung-katung tanpa media.
Taufik termasuk jurnalis yang karena idealismenya memilih jalan terjal ini, jalan perjuangan yang tak jelas kapan berakhirnya. Pada saat pembreidelan 1994, Soeharto saat itu memang sedang kuat-kuatnya. Saat itu, pembreidelan menggunakan tangan Menteri Penerangan Harmoko, loyalis Soeharto.
Taufik lalu bersama sejumlah jurnalis muda dari berbagai media pada 7 Agustus 1994 mendirikan organisasi profesi jurnalis, AJI, yang bersikap kritis terhadap rezim. Sikap AJI berseberangan dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), satu-satunya organisasi jurnalis yang diakui pemerintah. PWI saat itu bersikap akomodatif terhadap penguasa.
AJI menerbitkan media perlawanan Suara Independen yang kritis terhadap penguasa. Media ini mengangkat saham-saham media yang dimiliki Harmoko, dan mengeritik korupsi di pemerintahan Soeharto. Media ini sudah pasti terbit tanpa SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sesuatu yang diwajibkan dan menjadi alat kontrol pemerintah pada saat Soeharto berkuasa.
Dengan dalil-dalil pasal “penyebaran kebencian terhadap pemerintah,” pasal warisan hukum kolonial Belanda, Ahmad Taufik bersama Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo (office boy Sekretariat AJI) ditangkap. Ketiganya diadili, dan lalu dijatuhi hukuman penjara. Taufik sempat menjalani hukuman badan selama 1,5 tahun.
Taufik adalah jurnalis idealis, yang gigih memperjuangkan kebebasan pers di era rezim otoriter Soeharto. Wafatnya Taufik (atau akrab dipanggil Bang Ate oleh para yuniornya) adalah kehilangan besar bagi gerakan prodemokrasi, yang digeluti Taufik sampai saat-saat menjelang kematiannya.
Taufik adalah tipe “jurnalis-aktivis,” yang selain menjalankan tugas profesional jurnalis, juga terjun ke berbagai gerakan sosial. Keprihatinan sosial ini bahkan sudah muncul sejak ia jadi mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Islam Bandung (Unisba). Taufik lahir di Jakarta, pada 12 Juli 1965. Sejak kecil ia tinggal di kawasan Jl. Kebon Pala I/79 B, Tanahabang, Jakarta Pusat.
Taufik menuntaskan pendidikannya di SDN Kebonkacang, SMPN 35 Gambir, dan SMAN 24 Senayan, Jakarta Selatan. Lulus SMA, Taufik meneruskan kuliah di Fakultas Hukum Unisba pada 1984. Ia juga kuliah di Jurusan Bahasa Arab FPBS IKIP Bandung.
Sejak mahasiswa Taufik getol terlibat dalam berbagai aksi membela rakyat. Seperti: membela hak rakyat dalam konflik agraria di Badega,Kabupaten Garut; kasus Kacapiring, Kabupaten Bandung; kasus Ligung dan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka; serta kasus Cimacan, Kabupaten Cianjur. Termasuk aksi membela rakyat Palestina dalam melawan penjajahan zionis Israel.
Sejak 1985 ia juga aktif menulis di berbagai media di Bandung dan Jakarta. Ia bergabung ke Majalah Berita Mingguan Tempo sejak 1989. Sesudah Tempo dibreidel, ia sempat bekerja sebagai kontributor CBS TV yang berbasis di Tokyo, Media Indonesia, Suara Ummah, U-Mag, On Stage, Let’s Dance, Tempo Interaktif, dan dosen STIKOM Bandung.
Sesudah Soeharto jatuh dan Majalah Tempo bisa terbit lagi, Taufik sempat gabung lagi ke Tempo. Tetapi kemudian ia mengundurkan diri. Taufik kembali ke habitat asalnya. Sarjana Hukum lulusan Unisba ini bekerja sebagai lawyer. Namun, ia tetap gigih membela kasus-kasus kebebasan beragama, hak asasi manusia, penggusuran dan reklamasi, antikorupsi, dan macam-macam lagi.
Taufik meninggalkan seorang istri dan dua anak lelaki, yang sedang beranjak dewasa. Anak yang sulung jadi chef (juru masak) di Malaysia, sedangkan anak yang bungsu tinggal di Jakarta. Semoga Ahmad Taufik mendapat khusnul khotimah! ***
Artikel ini ditulis oleh: