Jakarta, Aktual.co —Selama beberapa hari terakhir, pemberitaan media massa masih diramaikan oleh sengketa antara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan DPRD DKI Jakarta. Salah satu aspek dalam sengketa itu adalah gaya komunikasi Ahok terhadap DPRD, yang menggunakan kata-kata “tidak santun.”
 Namun kini ada dimensi baru, yang melibatkan komunitas Tionghoa, komunitas Ahok sendiri. Ahok sudah dikritik keras oleh banyak kalangan, bahkan ada kritik dan masukan dari insan media dan kalangan yang sebetulnya bukan musuh politik Ahok.
 Kritik itu berpusat pada gaya komunikasi Ahok, yang terkesan kasar dan menggunakan pilihan kata-kata yang dalam masyarakat kita dianggap kasar. Sayangnya, banyak masukan itu tampaknya tidak digubris atau tidak dianggap serius oleh Ahok.
Kini muncul masukan sekaligus kritik justru dari komunitas Tionghoa sendiri. Tak kurang dari Jaya Suprana (Phoa Kok Tjiang), pengusaha jamu ternama dan Ketua Museum Rekor Indonesia (MURI), yang mengeritik Ahok (Zhong Wanxue) secara terbuka lewat tulisannya di harian Sinar Harapan (Rabu, 25 Maret 2015).  Dalam surat itu, Jaya Suprana mengkhawatirkan, sikap Ahok yang sering melontarkan kata-kata kasar akan memicu konflik dan membangkitkan cara pandang rasialis kepada warga keturunan Tionghoa.
“Sebagai sesama warga Indonesia keturunan Tionghoa dan umat Nasrani, saya juga sangat bangga atas semangat perjuangan Anda membasmi korupsi. Namun, akhir-akhir ini terasa bahwa lambat tetapi pasti timbul rasa kebencian masyarakat terhadap kata-kata dan kalimat-kalimat Anda, yang dianggap tidak sopan dan tidak santun…” tulis Jaya Suprana.
Yang lebih serius, Jaya Suprana menambahkan, “Bahkan, teman-teman saya yang cendekiawan, rohaniwan, akademikus bukan politikus yang semula mendukung Anda, kini mulai meragukan dukungan mereka terhadap Anda. Apalagi mereka yang sejak semula tidak mendukung, kini malah mulai membenci Anda…”
Sebagai tokoh yang mengalami sendiri tekanan terhadap etnis Tionghoa di zaman Orde Baru, dengan berbagai efek samping seperti kerusuhan sosial, yang menjadikan warga Tionghoa sebagai sasaran, Jaya Suprana merasa was-was melihat perilaku Ahok.  Jaya Suprana khawatir, tindakan segelintir kecil warga Tionghoa (baca: Ahok) bisa menjadi alasan untuk bangkitnya permusuhan dan kebencian kepada seluruh warga Tionghoa. 
Di masa lalu, ulah segelintir konglomerat hitam yang kebetulan beretnis Tionghoa bisa memicu kerusuhan massal denan sasaran warga Tionghoa yang tidak terlibat apa-apa. Inilah pesan kunci yang diinginkan Jaya Suprana dipahami Ahok, agar lebih menahan diri dalam berkata-kata.
Sayangnya, kembali saran, masukan, dan kritik ini mental berhadapan dengan sikap keras Ahok. Ahok menanggapi negatif isi surat Jaya Suprana, yang dianggapnya mewakili mentalitas warganegara kelas dua. “Dia merasa masih kayak otak warga negara kelas dua, dia melatih merasis diri,” tuturnya kepada wartawan, Senin (30/3).
Ahok menambahkan, dirinya tidak perlu merasa takut terhadap risiko langkahnya selama ini. “Apapun yang saya lakukan karena ini hak saya, kenapa saya harus ketakutan? Kan posisinya sama warga Indonesia yang dilindungi undang-undang, waktu kerusuhan ‘98 saya enggak tahu apa-apa,” ujarnya.
Ahok bahkan mengatakan, pihaknya siap menanggung risiko tanpa harus merepotkan orang lain. “Kalau ada risiko, saya sendiri dan keluarga yang menanggung kok. Ngapain Anda (Jaya Suprana) repot-repot? Dia itu otaknya status quo. Saya tidak pernah merasa minoritas,” tuturnya.
Sebaliknya, Ahok malah mengatakan, langkah Jaya Suprana dengan menulis surat terbuka di media itu adalah langkah provokatif. “Kalau dia baik hati, ngapain dia provokasi lewat koran, itu justru provokasi orang-orang lho. Itu strategi memprovokasi nakut-nakutin orang, supaya orang turunan marah-marahin saya,” tegasnya.
Dengan tanggapan negatif Ahok seperti ini, gayung tidak bersambut. Sebagai risiko dari pilihan sikapnya, sebagai Gubernur DKI Jakarta yang seharusnya fokus pada mencari solusi masalah-masalah krusial, Ahok tampaknya akan banyak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak esensial. Ahok harus mengalokasikan waktu dan energi yang berharga untuk menanggapi isu-isu perilaku, ucapan kasar ini dan itu, yang sebetulnya tidak penting. 
Isu perilaku ini sesungguhnya hanya soal gaya komunikasi, yang tidak perlu dipertahankan mutlak-mutlakan, jika terbukti kontra-produktif. Hal itu seharusnya juga bisa dihindarkan cukup dengan sedikit keluwesan dalam bersikap. Tetapi itu tampaknya bukan gaya Ahok. Isu perilaku tampaknya akan terus menjadi “trade mark” gaya kepemimpinan Ahok sebagai gubernur. Bersabarlah!

Depok, 1 April 2015
Satrio Arismunandar

Artikel ini ditulis oleh: