Jakarta, Aktual.co —“Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”
Begitulah pemeo populer dalam canda sesama birokrat Pemda DKI Jaya masa 80an awal. Pemeo itu tertuju atas sukses kreasi mencipta “pos pendapatan tambahan” bagi kocek staf birokrat yang menangani pelayanan umum. Kok bisa?
Ternyata pemeo itu lengkap dikemasi dalih, menolong masyarakat yang membutuhkan kecepatan dalam melengkapi tiap syarat administrasi pelayanan birokratis.
Pemeo ini lalu meredup berganti dengan semboyan “asal semua happy”. Semboyan yang meluas sejak pascareformasi 1998, seiring mulai ‘diseganinya’ peran politisi era reformasi di DPRD oleh para birokrat. Sebaliknya bagi pengusaha yang punya kepentingan langsung dengan birokrasi, semboyan ini cukup menentramkan mereka.
Cikal bakal pemeo dan semboyan ini berawal dari aneka istilah soal ‘nafkah tambahan’ sejak masa kesulitan politik ekonomi era pergolakan G30S tahun 1965.
Didahului dari “ngompreng”(ompreng berarti piring) yaitu memanfaatkan fasilitas kantor guna mencari uang tambahan. Lalu “uang kopi” dan “uang rokok” yang popular tahun 1970an, sebagai imbal jasa pelayanan kepentingan umum. Semua itu dibarengi istilah TST (Tahu Sama Tahu) dan ‘uang dengar’. Secara sosioekonomi, berarti kebutuhan makan telah tercukupi, tapi belum bisa minum kopi, apalagi merokok.
Dari pemeo dan semboyan ‘semua happy” yang merasuki legislatif itu, perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan DPRD bisa ditelisik jernih. Bukan sekedar soal saling klaim draf APBD, hak angket, maupun laporan Ahok kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan Rp12T anggaran siluman yang menyusupi APBD. Aneh, padahal usulan anggaran selalu diajukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov dulu. Lalu siapa “begal” uang rakyat itu?
Mengurai benang kusut polemik anggaran antara eksekutif dan legislatif ini tentu tak bisa lepas dari aspek sosiopolitik historis perkembangan Indonesia, termasuk juga Jakarta sebagai ibukota Negara.
Asal semua happy…
Artikel ini ditulis oleh: