Jakarta, Aktual.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mempertanyakan tak adanya mekanisme pengujian atas kebijakan Kemenkominfo memblokir 11 situs yang diduga mengandung konten SARA.

Dalam keterangan resmi yang diterima, Kamis (3/11), AJI Indonesia menyeru semua pihak menghormati kaidah-kaidah pelaksanaan kebebasan berekspresi sebagaimana diatur Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Konvenan Sipil dan Politik.

Melalui ketuanya, Suwarjono, AJI Indonesia berkomitmen selalu memperjuangkan kebebasan pers serta mengawal kebebasan berekspresi warga negara. “Akan tetapi, pelaksanaan kebebasan berekspersi harus mengacu kepada prinsip-prinsip yang diatur DUHAM maupun Konvenan Sipil dan Politik,” kata dia.

Dijelaskan, pasal 19 DUHAM mengatur setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, termasuk penyampaian pendapat tanpa adanya gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

Sementara, pasal 19 Konvenan Sipil dan Politik menyatakan pelaksanaan hak-hak untuk berekspresi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, dan harus dibatasi demi memastikan penghormatan hak atau nama baik orang lain serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

“Lebih jauh lagi, Pasal 20 Konvenan Sipil dan Politik menyatakan bahwa segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum. Pasal itu juga menyatakan segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum,” papar Suwarjono.

Dirinya menilai, karena medium internet yang bersifat seketika dan tanpa batas-batas, misalnya batas geografis, maka pembatasan sebagai pelaksanaan aturan Konvenan Sipil dan Politik memang boleh diberlakukan seketika. Contoh, melakukan blokir terhadap situs-situs yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.

“Akan tetapi, harus ada mekanisme pengadilan untuk sesegera mungkin menguji, apakah penilaian pemerintah terkait sebuah situs menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan itu obyektif. Mekanisme uji oleh pengadilan penting, agar kewenangan negara untuk memastikan pelaksanaan kebebasan berekspresi mengikuti aturan Konvenan Sipil dan Politik tidak disalah-gunakan untuk kepentingan penguasa,” tambahnya.

Lebih jauh, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho mengatakan, selama pemerintah dan aturan hukum tidak merumuskan mekanisme uji pengadilan, maka segala macam bentuk pemblokiran berpotensi melanggar kebebasan warga negara untuk berekspresi.

“Mekanisme pengujian pengadilan atas keputusan pemerintah meminta ISP memblokir akses 11 situs harus dilakukan secepat-cepatnya, untuk memastikan hak warga negara memperoleh informasi tidak dilanggar,” kata Iman.

AJI Indonesia pula mengimbau semua pihak agar menggunakan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. “AJI Indonesia menolak segala macam anjuran kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Pelaksanaan kebebasan berekspresi yang melanggar prinsip Konvenan Sipil dan Politik harus diproses hukum,” tegas Iman.

Laporan: Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby