Para pendiri bangsa telah memiliki pemikiran jauh ke depan, melampaui zaman. Saat Indonesia merdeka, jumlah penduduknya berkisar 61 juta jiwa. Apabila diterapkan pemilu langsung, pertanggungjawaban tidak mungkin melibatkan setiap orang dari 61 juta jiwa tersebut. Oleh karena itu, diadopsi sistem pemerintahan desa melalui Rembuk Desa yang ada di Bali, NTT, Papua, dan Jawa, yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Perwakilan. Sistem ini diletakkan atas dasar negara Pancasila, yang tertuang dalam sila keempat, yaitu:
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.”
Esensinya adalah adanya dua lembaga, yakni DPR sebagai representatif politik yang tugasnya mengontrol kekuasaan agar tidak otoriter dan sewenang-wenang, serta MPR sebagai representatif fungsional yang berperan sebagai penuntut dan pemberi petunjuk kepada eksekutif melalui GBHN, agar eksekutif menyusun repelita setiap lima tahunan untuk jangka pendek, menengah, dan panjang bagi bangsa ini.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, atas desakan dari Militer AD yang saat itu melihat situasi dan kondisi berbangsa serta bernegara, di mana negara bukan lagi sebagai negara kesatuan (integralistik) melainkan sudah menjadi negara Indonesia Serikat—sebuah taktik kolonialisme untuk melemahkan eksistensi pemerintahan pusat, yang menyebabkan timbulnya fenomena “negara dalam negara” yang dipecah menjadi negara-negara bagian—Bung Karno dengan berani mengambil keputusan politis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang mengembalikan UUD 1945 sesuai dengan rancangan para pendiri bangsa.
Kita juga harus belajar dari sejarah masa lalu, bukan hanya sejarah kita sendiri sebagai bangsa, tetapi juga sejarah Amerika Serikat sebagai negara kampiun demokrasi yang dijadikan kiblat oleh negara-negara di dunia pasca Perang Dunia II.
Presiden Abraham Lincoln, presiden Amerika yang paling legendaris saat perang saudara antara Utara dan Selatan ketika Amerika baru merdeka—saat pihak Selatan hendak melepaskan diri dari Amerika Serikat—dalam memberikan pertanggungjawaban kepada rakyatnya dan mengambil tindakan politik untuk menyelamatkan negara, menyatakan dalam pidatonya:
“Pada waktu menerima jabatan sebagai Presiden, saya telah bersumpah untuk memelihara, melindungi, dan mempertahankan konstitusi AS dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, saya juga memahami bahwa sumpah saya untuk memelihara konstitusi dengan sebaik-baiknya berarti bahwa saya wajib memelihara pemerintahan rakyat sebagaimana tertuang dalam konstitusi, dengan menggunakan segala upaya, sedangkan konstitusi itu hanyalah undang-undang organis dari pemerintah dan rakyat. Apakah mungkin, dengan dibiarkannya bangsa dan negara hancur dan musnah, konstitusi itu masih dapat dipelihara?
Menurut hukum yang berlaku umum, jiwa dan raga harus dilindungi. Walaupun demikian, ada kalanya suatu anggota badan harus dipotong untuk menyelamatkan jiwa. Namun, tidaklah bijaksana mengorbankan jiwa hanya untuk menyelamatkan anggota badan. Saya merasa bahwa tindakan-tindakan yang biasanya dianggap tidak konstitusional akan menjadi sah menurut hukum, jika tindakan tersebut tidak dapat dihindari lagi, justru untuk menyelamatkan konstitusi melalui penyelamatan BANGSA dan NEGARA. Benar atau tidak, inilah pendirian saya.”
Itulah pidato dari Abraham Lincoln yang sangat terkenal, yang tujuannya semata-mata untuk bangsa dan negara, sebagai pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memberikan mandat kepadanya.
Kami berharap demikian pula kepada presiden terpilih, Prabowo Subiyanto, yang telah melewati 100 hari pemerintahannya dengan Kabinet Merah Putih yang begitu besar karena harus mengakomodir berbagai kepentingan akibat sistem multi-partai. Beliau harus berani, seperti halnya seorang Soekarno atau Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat. Dengan demikian, segala tindakan politik yang semata-mata bertujuan demi rakyat, bangsa, dan negara akan dikenang hingga ratusan tahun ke depan sebagai bukti kepemimpinan sejati. Gajah meninggalkan gading, macan meninggalkan belang, dan manusia meninggalkan nama baik.
Pidato Presiden Abraham Lincoln harus dimaknai dalam konteks masa kini, di mana hukum telah dijadikan lahan bisnis oleh aparat penegak hukum. Bukan lagi keadilan yang dicapai, melainkan ketidakadilan yang dirasakan, yang sangat merugikan rakyat. Demikian pula, kekuasaan partai politik sudah bukan lagi mewakili kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan kelompok untuk mencapai kekuasaan. Begitu juga dengan sistem ekonomi, di mana yang miskin akan tetap miskin dan yang kaya akan bertambah kaya, yang telah menyimpang dari cita-cita para pendiri bangsa (Founding Fathers) dan harus diperangi serta diberantas dengan keputusan tegas.
Kembalikanlah kepada dua partai politik, sesuai dengan cita-cita Bung Karno sejak awal, di mana dua partai politik yang diilhami dari Amerika Serikat—satu berbasis agama dan satu berbasis nasionalis—akan melahirkan kelompok nasionalis yang religius dan kelompok religius yang nasionalis.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang berani bertindak serta bekerja. Kita nantikan bersama kiprahmu, wahai presidenku, presiden bagi seluruh rakyat Indonesia, baik mayoritas maupun minoritas, tanpa memandang suku, ras, agama, maupun politik.
Penulis adalah pemerhati sosial, budaya, politik, dan hukum yang tinggal di Jakarta.
Oleh: Agus Widjajanto
Penulis adalah, Praktisi hukum, Pemerhati sosial politik, budaya bangsanya, tinggal di Jakarta
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano














