Praktisi hukum dan pemerhati politik, sosial, budaya Agus Widjajanto. Aktual/DOK PRIBADI

Seperti yang kita dengarkan bersama dan saksikan dalam pidato Presiden Prabowo Subiyanto di Harlah NU di Istora Senayan, Jakarta, beliau dengan penuh semangat berjanji untuk menindak segala bentuk korupsi dan ketidakadilan. Aparat penegak hukum beserta jajaran pemerintahan Kabinet Merah Putih diharapkan tidak melakukan penyimpangan dan bekerja semata-mata untuk kepentingan bangsa serta rakyat sebagai mandataris.

Untuk memperbaiki kondisi bangsa, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus terlebih dahulu membangun sistem ketatanegaraan yang baik, yang dapat mengharmoniskan kinerja ketiga lembaga tersebut secara saling menunjang demi bangsa dan negara. Sebagai negara demokrasi yang berkiblat pada Trias Politica, sistem keindonesiaan harus didasarkan pada local wisdom, sebagaimana telah dibangun oleh para bapak pendiri bangsa.

Masalah paling krusial saat ini adalah mengenai sistem perwakilan, yakni representasi dari penjelmaan rakyat, di mana suara rakyat merupakan kekuasaan tertinggi sebuah negara (Vox Populi, Vox Dei), bahwa suara rakyat bagaikan suara Tuhan.

Seperti yang kita ketahui bersama, pasca amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan hingga empat kali, sistem ketatanegaraan kita telah berubah dari sistem perwakilan menjadi sistem liberal. Dalam amandemen tersebut, kewenangan telah direduksi secara signifikan, sehingga penjelmaan rakyat melalui lembaga yang bernama MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) tidak lagi diberikan kewenangan untuk menetapkan GBHN dan memilih presiden serta wakil presiden. Kewenangan MPR versi amandemen hanya mencakup:

Mengubah dan menetapkan UUD;

Melantik presiden dan wakil presiden;

Memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

Dengan demikian, MPR hanyalah sebuah lembaga seperti macan ompong dalam kandang, karena kita semua tahu bahwa untuk mengubah UUD dan menetapkannya harus ada kemauan politik dari para elit, tidak hanya di dalam eksekutif dan legislatif, tetapi juga dukungan dari para tokoh nasional di luar kekuasaan. Tanpa kemauan politik tersebut, baik dari lingkaran kekuasaan maupun dari legislatif (DPR dan DPD), maka MPR tidak akan mampu bekerja, meskipun memiliki inisiatif sekalipun untuk mengubah UUD.

Dilihat dari susunan MPR saat ini, hasil amandemen tidak lagi merupakan “penjelmaan rakyat” karena hanya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD (sebagai utusan daerah). Sementara itu, utusan golongan (secara fungsional), termasuk kelompok minoritas dalam suku, ras, maupun agama di negeri ini, tidak lagi terwakili dan duduk sebagai anggota MPR; contohnya, tokoh dari saudara-saudara kita di Papua, atau dari PGI, Walubi, dan Hindu Dharma, yang suaranya sangat penting untuk menjaga keindonesiaan.

Dengan demikian, MPR tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat; saat ini, tugas tersebut dijalankan oleh DPR dan DPD, sedangkan presiden tidak dipilih oleh DPR dan DPD pada saat pemilu, melainkan dipilih langsung oleh rakyat Indonesia yang berpenduduk 270 juta jiwa. Bunyi pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pun tidak lagi berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” sebagai penjelmaan seluruh rakyat dalam menyalurkan suara dan kehendaknya, melainkan diubah menjadi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.”

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano