Jakarta, aktual.com – Wakil Ketua MPR RI, Dr. Eddy Soeparno, menegaskan bahwa Indonesia tengah berada di titik kritis kebijakan energi nasional. Ketergantungan tinggi pada energi fosil, di tengah ancaman perubahan iklim dan tekanan global, menjadi tantangan besar yang harus segera dijawab dengan langkah nyata dan terukur.
Hal itu disampaikan Eddy dalam forum MPR RI Goes to Campus bertajuk “Urgensi Transisi Energi Mencegah Dampak Perubahan Iklim” di Universitas Trisakti, Jakarta Barat, Selasa (3/6/2025). Acara ini dihadiri oleh sivitas akademika dan dipandu langsung oleh Rektor Universitas Trisakti, Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA.
Dalam paparannya, Eddy menekankan bahwa peningkatan aktivitas industri, pembangunan pabrik, dan pusat data menuntut strategi penyediaan energi yang berkelanjutan. Sementara itu, target bauran energi terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 dinilainya belum akan tercapai, karena realisasinya saat ini masih berada di kisaran 17–19%.
“61 persen pembangkit listrik kita masih berbasis batu bara. Padahal kita sudah berkomitmen untuk mencapai net zero emission tahun 2060,” ujar Eddy.
Meski Indonesia memiliki cadangan energi fosil yang besar, seperti batu bara, minyak, dan gas bumi, Eddy menilai masih tingginya impor energi menjadi ironi tersendiri. “Kita impor 1 juta barel minyak per hari senilai 65 juta dolar AS, atau sekitar 23 miliar dolar per tahun. LPG 3 kg, 75% kita impor. Ini menjadikan ketahanan energi kita sangat rentan terhadap krisis global,” jelasnya.
Eddy juga menyoroti bahwa transisi energi bukan semata soal keberlanjutan pasokan, tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup dan kualitas udara. Ia menyebut berbagai gejala krisis iklim yang kian nyata, mulai dari suhu ekstrem hingga meningkatnya penyakit pernapasan, sebagai bukti mendesaknya perubahan arah kebijakan energi.
“Ini bukan lagi climate change, tapi climate crisis,” tegas politisi PAN itu. “Kita tidak bisa menunggu. Dampaknya sudah nyata, dari NTT sampai Jakarta. Kita harus mulai dari sekarang.”
Untuk mendorong percepatan transisi, Eddy menekankan pentingnya payung hukum yang kuat. Ia menyebut DPR RI dan pemerintah tengah memfinalisasi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) agar pelaku usaha mendapat kepastian regulasi, insentif, dan sanksi yang tegas.
Lebih lanjut, Eddy mendorong langkah konkret seperti pensiun dini PLTU, penerapan pajak karbon, pengembangan transportasi publik listrik, pemanfaatan PLTS di industri, dan peralihan ke kompor induksi di rumah tangga. Semua itu, menurutnya, hanya akan berhasil jika ada kolaborasi lintas sektor.
“Ini bukan cuma tugas pemerintah. Kampus, dunia usaha, masyarakat, semuanya punya peran. Bahkan dari menyalakan AC di kamar, kita sedang bicara soal masa depan energi bangsa,” katanya.
Rektor Universitas Trisakti, Prof. Kadarsah, menyambut positif forum tersebut dan mengapresiasi kehadiran Eddy Soeparno. Ia mengingatkan kembali peran besar tokoh global seperti Al Gore dalam meningkatkan kesadaran perubahan iklim sejak 2007.
“Kalau dulu masih banyak yang meragukan, sekarang semua sudah merasakannya. Dari banjir sampai gelombang panas, tidak hanya di negara berkembang, tapi juga negara maju,” ungkapnya.
Menurut Prof. Kadarsah, kunjungan Eddy menjadi momentum penting bagi mahasiswa untuk memperluas wawasan dan keterlibatan dalam agenda transisi energi. “Beliau adalah figur yang sangat memahami dunia energi, baik konvensional maupun terbarukan. Mari kita serap ilmu beliau dan menjadi bagian dari solusi,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano