Jakarta, Aktual.com – Syekh Ibnu Athaillah Assakandary berkata:
أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَهُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلَاتِهِ
Artinya: “Atau bagaimana hati berharap untuk masuk ke dalam ruang kemuliaan Allah Swt. sedangkan ia belum suci dari kotoran kelalaiannya.”
Ungkapan ini adalah renungan ketiga Ibnu Athaillah mengenai hijab-hijab hati yang kerap kali ada pada diri seorang salik.
Dalam hikmah ini beliau menganalogikan proses menuju Tuhan itu dengan ibadah salat yang membutuhkan kesucian jasad dari hal-hal yang dianggap hadas (sesuatu yang denganya seseorang dilarang untuk melakukan ibadah); baik hadas kecil apalagi hadas besar.
Dalam fikih Islam, jika seseorang mau melakukan ibadah salat, ia harus menyucikan diri secara jasmani dan kejiwaan. Laku penyucian itu disimbolisasikan lewat kegiatan bersuci yang disebut wudu (untuk hadas kecil) atau mandi (untuk hadas besar).
Kelalaian seorang salik dalam memusatkan tujuannya semata karena Allah Swt. diibaratkan orang yang berhadas besar (janabah).
Dia harus mandi besar untuk menghilangkan kotoran yang ada pada dirinya sehingga ia bisa kembali pada ‘real track’ dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid