Jakarta, Aktual.com – Syekh Ibnu Athaillah Assakandary berkata:
سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ

Artinya: “Semangat menuju Allah SWT tidak akan mampu melampaui tirai-tirai takdir”

Seperti yang pernah dibahas sebelumnya, kata ‘himam’ sebagai bentuk plural dari‘himmah’ dapat diartikan sebagai semangat yang tinggi menuju kepada Allah SWT. Sikap ‘himmah’ ini merupakan kebalikan dari ‘syahwat’, yang diartikan sebagai dorongan yang kuat dalam mendapatkan hal-hal yang sifatnya material dan duniawi. Adapun kata ‘sawabiq’ dapat diartikan sebagai kekuatan, semangat atau dorongan untuk berlomba-lomba dan saling mengejar satu sama lain.

Dalam menempuh ‘suluk’ (perjalanan spiritual) kepada Allah SWT, hendaklah seorang salik memahami akan hakikat dari bentuk penyerahan diri kepada Allah SWT. Salah satu sikap yang penting ditanamkan adalah keyakinan bahwa segala bentuk usaha yang manusia lakukan tidaklah akan lepas dari takdir yang Allah SWT telah tetapkan. Allah SWT berfirman:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan tidaklah kamu berkehendak, kecuali apa yang dikehendaki Allah SWT, Tuhan yang Mengatur alam semesta.” (QS. Attakwir: 29)

Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيماً

Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah SWT. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.Al-Insan: 30)

Takdir sendiri merupakan ‘grand design’ kehidupan manusia yang telah Allah SWT rencanakan dari zaman azali. Pengertian zaman azali merupakan istilah teologi yang digunakan untuk menerangkan sebuah masa yang tidak terdefinisikan oleh waktu, sebagaimana Allah SWT juga bersifat ‘qadim’ (Maha Dahulu) yang ke-dahuluan-Nya tidak dapat terdefinisikan oleh waktu.

Segala kebutuhan makhluk dalam hidup ini adalah sesuatu yang telah diatur dan dijamin oleh Allah SWT. Dengan ilmu-Nya, Allah SWT telah membuat skenario besar untuk manusia, bahkan sebelum manusia itu ada. Sekeras apapun kegigihan manusia dalam berupaya mengatur kebutuhan dan kepentingan dirinya, semuanya tidak akan dapat melampaui takdir-takdir yang telah Allah SWT tetapkan tersebut.

Dalam hikmah yang lain, berkenaan dengan ini, Syekh Ibnu Athaillah rahimahullah juga menambahkan:

أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ

Artinya: “Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengatur (kebutuhan dirimu). Apa-apa yang telah dijamin oleh selain kamu (yaitu Allah SWT), tidak perlu engkau ikut sibuk memikirkannya.”

[Mabda Dzikara]

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid