Target RAPBN 2018 terlalu rendah, utang terus meroket. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dikatakan menutup-nutupi kondisi ekonomi Indonesia yang tengah mengalami kecemasan menghadapi beban negara yang tidak sesui dengan kemampuan pemerintah untuk menggenjot pendapatan negara.

Center of Reform On Economics (Core) mengatakan selama ini pemerintah hanya menyampaikan beban bunga utang negara masih di bawah 30 persen dari Gross Domestic Product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB).

Angka ini memang masih lebih kecil dibanding dengan negara-negara lain, namun Direktur Core, Mohammad Faisal mengungkapkan bahwa pemerintah tidak menyampaikan beban bunga utang disertai angsuran pokok utang itu sendiri yang berjumlah Rp630 Triliun atau lebih besar dari anggaran infrastruktur 2017 sekalipun yakni sebesar Rp401 Triliun.

“Belanja pemerintah begitu besar dan tidak sesuai dengan kemampuan pendapatan negara. Tahun ini ada Rp401 Triliun anggaran untuk infrastruktur, itu jauh lebih besar dibanding tahun lalu hanya sekitar Rp200 triliun. Tahun depan naik lagi Rp409 triliun,” kata Faisal di Jakarta, ditulis Kamis (2/11).

“Tapi yang tidak mengemuka oleh pemerintah yaitu pokok utang dan bunga utang yang nilainya Rp630 Triliun, jauh dibanding anggaran infrastruktur,” tambah Faisal.

Lalu Faisal melihat potensi beban keuangan negara pada tahun mendatang akan kian berat, pasalnya banyak Surat Utang Negara (SUN) yang telah diterbitkan akan mengalami jatuh tempo.

Kemudian ditinjau dari proyeksi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2018 sebesar 5,4 persen. Menurut Faisal angka itu tidak realistis, karena melihat pertumbuhan tahun ini diperkirakan hanya mencapai 5 persen dari taget APBN 5,2.

Karena itu, untuk merealisasikan pertumbuhan 5,4 persen pada tahun depan, diperlukan penerimaan negara yang jauh lebih besar dari tahun ini. Tentunya harus juga disertai upaya yang jauh lebih agresif dari tahun ini. Jika dilihat laju penerimaan saat ini, tidak sesui harapan.

Diketahui hingga September 2017 penerimaan pajak baru mencapai Rp 770 triliun, atau 60 persen dari target di APBN-P 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun.

“Tahun depan target pertumbuhan 5,4 persen. Saya pikir tidak akan dicapai kalau kondisinya masih seperti sekarang. Karena tahun ini saja target 5,2 persen, paling tercapai 5 persn saja,” kata Faisal.

Karena itu, dengan target pertumbuhan yang tinggi, beban bunga dan pokok utang yang kian memberatkan, serta tuntutan menyeimbangi dengan penerimaan negara baik melalui pajak, PNBB ataupun sumber lain,  Menteri Keuangan Sri Mulyani dinilai mengalami panik.

Hal ini tercermin dari upaya Sri Mulyani menggiring merevisi UU No 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang mana diantara isi revisi ini menyasar kepada sektor layanan publik yang memungut biaya nikah, cerai, dan rujuk.

Tidak hanya itu, revisi ini juga menyasar sektor kesehatan dan pendidikan. Pada sektor pendidikan misalnya: pemerintah memungut biaya ujian penjaringan masuk perguruan tinggi serta pelatihan-pelatihan.

“Asumsi pertumbuhan yang tinggi maka dipatok target penerimaan juga tinggi. Nah untuk memenuhi itu maka nyasar kemana-mana. Karena kalau tidak tercapai, ada potensi pemangkasan anggaran atau pelebaran utang. Defisit tahun ini yang 2,9 persen itu disumbangkan bunga utang dan pokok utang serta anggaran infrastruktur yang meningkat,” pungkas dia.

(Reporter: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka