Petugas mengoperasikan eskavator untuk membersihkan jalan akses antardesa dari batang-batang kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Minggu (7/12/2025). Akses penghubung Desa Tanjung Karang dan Desa Menang Gini yang sempat tertutup tumpukan kayu gelondongan akhirnya bisa terbuka usai pemerintah mengerahkan alat berat untuk pembersihan sehingga mobilitas masyarakat, termasuk distribusi bantuan menjadi bisa dilakukan. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/app/nz
Petugas mengoperasikan eskavator untuk membersihkan jalan akses antardesa dari batang-batang kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Minggu (7/12/2025). Akses penghubung Desa Tanjung Karang dan Desa Menang Gini yang sempat tertutup tumpukan kayu gelondongan akhirnya bisa terbuka usai pemerintah mengerahkan alat berat untuk pembersihan sehingga mobilitas masyarakat, termasuk distribusi bantuan menjadi bisa dilakukan. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/app/nz

Jakarta, Aktual.com – Alim ulama se-Aceh meminta Pemerintah pusat menetapkan bencana banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatra sebagai darurat bencana nasional. Mereka menilai, dengan hanya status tanggap darurat bencana, Pemerintah daerah di tiga wilayah terdampak memiliki kemampuan terbatas untuk penanganan pascabencana.

“Ulama meminta kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, agar menetapkan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh serta wilayah terdampak lainnya seperti Sumatra Utara dan Sumatra Barat sebagai bencana nasional,” kata Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Teungku Faisal Ali dalam keterangannya, Minggu (14/12/2025).

Menurut Tengku Faisal Ali, penetapan status bencana nasional penting untuk mempercepat penanganan korban, pemulihan infrastruktur, serta membuka ruang bantuan kemanusiaan yang lebih luas.

Alim ulama se-Aceh juga mendorong Pemprov Aceh dan pemerintah kabupaten kota se-Aceh untuk melakukan revisi anggaran untuk membantu korban bencana.

“Pemerintah pusat harus memberikan perhatian serius, dukungan anggaran, serta langkah-langkah strategis jangka pendek dan jangka panjang secara objektif dan proporsional sesuai tingkat kedaruratan yang terjadi,” ujar Teungku Faisal.

Ribuan Nyawa

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis, hingga Senin, 15 Desember 2025, bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar menyebabkan 1.022 orang tewas. Bencana tersebut berdampak di 52 kabupaten/kota hingga menyebabkan lebih dari 600 ribu orang menjadi pengungsi.

Bencana juga mengakibatkan 158.049 rumah rusak. Mayoritas rumah mengalami kerusakan berat. Setidaknya ada 206 orang yang menghilang dan 7.000 orang terluka.

Bencana juga merusak 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung kantor serta 145 jembatan.

Berikut data korban bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar per 15 Desember 2025:

Aceh

Korban tewas: 424 orang

Luka: 4.300 orang

Hilang: 32 orang

Sumatra Utara

Korban tewas: 355 orang

Hilang: 84 orang

Luka: 2.300 orang

Sumatra Barat

Korban tewas: 243 orang

Luka: 382 orang

Hilang: 90 orang.

Dengan ribuan nyawa yang sudah meninggal, dan ratusan ribuan lainnya masih mengungsi, Pemerintah pusat masih belum menetapkan bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar sebagai darurat bencana nasional.

Surat Terbuka

Di sisi lain, sejumlah kalangan terus mendesak Pemerintah pusat segera meningkatkan status bencana menjadi darurat bencana nasional. Salah satunya, Amnesty International. Lembaga non-pemerintah ini mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto terkait hal tersebut.

Dalam surat terbuka yang layangkan 13 Desember 2025, Direktur Eksekutif Usman Hamid mendesak lima hal kepada Presiden Prabowa.

“Segera menetapkan banjir dan tanah longsor di Sumatra–Aceh sebagai bencana nasional ekologis untuk memastikan percepatan evakuasi dan pemulihan akses/infrastruktur kunci,” tulis Amnesty International.

Kedua, membuka akses bantuan kemanusiaan internasional, sebagai bagian dari kewajiban negara atas sumber dayanya dalam melindungi warga negara dalam keadaan darurat.

Ketiga, memprioritaskan pemenuhan hak atas hidup, makanan, air bersih, kesehatan, dan tempat tinggal layak lewat langkah cepat yang menyasar kelompok rentan, perempuan, dan anak.

Keempat, melakukan evaluasi independen yang transparan terhadap keterlambatan respons pemerintah, termasuk terkait pengabaian peringatan dini BMKG dan penyaluran bantuan;

Kelima, mengusut peran perusahaan dan unsur pemerintah yang berkontribusi atas deforestasi dan kerusakan ekologis, menegakkan akuntabilitas, dan menetapkan penghentian deforestasi.

“Kegagalan negara untuk memenuhi hak-hak dasar dan fundamental dalam kondisi darurat, seperti bencana di Sumatra, berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia,” demikian disampaikan mereka.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi