Umat Islam melakukan Tawaf keliling Kabah sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah umrah di Masjidil Haram, Makkah Al Mukarramah, Arab Saudi (ANTARA FOTO/Aji Styawan/nz)

Jakarta, aktual.com — Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menegaskan bahwa umrah mandiri kini resmi dilegalkan dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) No. 14 Tahun 2025, yang menggantikan UU No. 8 Tahun 2019.

“Pasal 86 ayat 1 huruf B mencantumkan legalisasi umrah mandiri, yang sebelumnya tidak pernah ada dalam undang-undang lama,” ujar Sekjen Amphuri, Zaky Zakariya, Rabu (22/10/2025).

Namun, Zaky menilai pasal baru tersebut tidak berpihak pada ekosistem haji-umrah berbasis keumatan. Ia menjelaskan bahwa Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) selama ini telah menjalankan tanggung jawab besar di bawah pengawasan ketat Kementerian Agama (Kemenag).

“PPIU diawasi 24 jam oleh PPNS Kemenag, wajib sertifikasi, akreditasi, menyimpan bank garansi, membayar pajak, dan menciptakan lapangan kerja,” tegasnya.

Zaky juga mengutip pandangan Ketua Umum DPP Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Iqbal Alan Abdullah, yang mengingatkan potensi kerugian besar dari dilegalkannya umrah mandiri.

“Konsekuensi dari legalisasi umrah mandiri itu akan sangat merugikan, baik dari sisi perlindungan jamaah maupun ekonomi domestik,” kata Iqbal.
“Secara ekonomi, ini bisa memicu pengangguran baru karena ada sekitar 4,2 juta pekerja yang bergantung pada sektor haji dan umrah,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Zaky mengakui bahwa praktik umrah mandiri sebenarnya sudah terjadi sejak lama, namun yang menjadi kekhawatiran adalah ketika praktik tersebut kini dilegalkan secara resmi. Ia memperingatkan bahwa marketplace global seperti Agoda, Traveloka, atau Nusuk berpotensi masuk dan menguasai pasar umrah Indonesia jika aturan ini tidak dikendalikan dengan baik.

“Kalau legalisasi umrah mandiri disahkan, efeknya bukan hanya ekonomi umat yang hancur. Negara juga rugi karena hilangnya potensi pajak dan pendapatan sektor jasa,” ujarnya.

Ia pun mempertanyakan fungsi izin usaha PPIU, jika pelaksanaan umrah bisa dilakukan tanpa melalui penyelenggara resmi.

“Lalu apa artinya izin usaha yang kita miliki? Kalau yang tak berizin tidak ditindak, untuk apa izin itu ada?” katanya dengan nada heran.

Zaky berharap keresahan para pelaku usaha di sektor umrah dan haji dapat menjadi perhatian Presiden dan Komisi VIII DPR RI.

“Semoga penjabarannya nanti tidak seperti yang kita khawatirkan. Kemenag harus menjelaskan makna ‘Sistem Informasi Kementerian’ dan siapa yang dimaksud dengan ‘penyedia layanan’ dalam UU baru itu,” tutur Zaky.

Ia juga memperingatkan bahwa jika marketplace global diizinkan menjual paket umrah langsung kepada masyarakat, maka PPIU dan PIHK akan sulit bersaing.

“Kalau ini terjadi, wassalam PPIU/PIHK. Kita tak bisa bersaing dengan marketplace global yang modalnya besar dan strateginya bakar uang,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain