Dalam pembangunan 65 bendungan senilai Rp 29 triliun di seluruh Indonesia, sepanjang 2015-2019, BUMN menyapu bersih semua proyek. Di setiap lelang, swasta hanya seperti penggembira.
Sementara, Salamuddin Daeng, analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyebut, langkah BUMN memang berbahaya. Selain menjadi monopoli yang tidak efisien dan merusak perekonomian, BUMN itu juga jadi haus modal.
“Dan itu hanya dipenuhi lewat utang,” kata Salamuddin.
Utang empat BUMN kontruksi terbesar di bursa efek Wijaya Karya, Waskita Karya, PT Adhi Karya dan Pembangunan Perumahan sudah mencapai Rp 156,99 triliun pada 2017. Naik 63.14 persen dari 2016 yang sebesar Rp 96,23 triliun. Rasio utang terhadap ekuitas (DER) BUMN karya kini 2,99 kali, tertinggi sejak 2014.
Salamuddin menduga, lonjakan utang BUMN akan menghilangkan kesempatan mereka mengabdi pada kepentingan rakyat dan negara. “Mereka akan sibuk mengurusi naiknya utang dan mengambil proyek apa saja, menaikan harga, demi membayar utang,” ujar dia.
Padahal, kinerja empat BUMN Karya di lantai bursa juga melempem. Selama Maret 2018, nilai saham BUMN karya jatuh 15.05 persen. Sepanjang 2017, harga saham BUMN merosot rata-rata 13,70 persen.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang