Mengantisipasi Hasil Pertemuan IMF Bank Dunia di Bali

Guru Besar Ekonomi Universitas Nasional, Umar Basalim mengungkapkan IMF, World Bank dan WTO adalah penganut taat fondamentalisme pasar dengan resep generiknya yang disebut Washington Concensus. Belakangan mazhab ini diberi label Neo Liberalisme (Neolib). Cara mudah untuk mengetahui sistem perekonomian itu menganut fondamentalisme pasar/Neolib adalah semakin banyak bidang kehidupan diluar bidang ekonomi mengalami komersialisasi, mulai dari bidang pendidikan sampai kesejahteraan, dari hukum sampai prasarana publik.

“Terkait dengan gagasan Bank Dunia untuk meliberalisasi sektor ketenagakerjaan (menghapus ketentuan upah minimum, uang pesangon, hak pengusaha untuk merekrut dan memberhentikan karyawan dan pengaturan ketenagakerjaan lainnya) tidak perlu disangsikan karena hal itu merupakan aplikasi konsistensinya terhadap mazhab fundamentalisme pasar/neolib,” ujarnya dinukil dari watyutink.

Menurutnya, liberalisasi kenetagakerjaan akan disepakati dalam pertemuan di Bali nanti tergantung dari kepiawaian negosiasi delegasi negara-negara berkembang, setidaknya mereka yang tergabung dalam G-33.

Dari beberapa agenda AM IMF-WB seperti topik digital ekonomi, urbanisasi, sumber daya manusia tentu banyak yang bermanfaat bagi Indonesia. Namun, pengalaman membuktikan, bahwa implementasi regulasi yang disepakati selalu bias kepentingan negara maju dengan barisan perusahaan multinasional (MNC) yang berdiri di belakangnya. Apalagi sekarang sudah ditunjukkan secara telanjang oleh AS dengan kebijakan Presiden Trump terkait perang dagang dengan China dan mitra dagang lainnya yang menyebabkan defisit besar neraca perdagangan AS. Padahal sebelumnya AS merupakan salah satu pendorong utama liberalisasi perdagangan dunia yang diatur WTO.

“Lalu apakah dengan alasan “kepentingan nasional” harus juga pasang kuda-kuda untuk membela proteksianisme? Soeharto saja yang otoriter berani mengatakan suka atau tidak suka, mau atau tidak mau kita harus ikut globalisasi, alias menerima liberalisasi perdagangan internasional,” jelasnya.

Memang SDM, dari sisi kuantitas merupakan salah satu modal besar dan keunggulan Indonesia. Tapi dari sisi kualitas justru merupakan persoalan. Produktivitas pekerja Indonesia merupakan salah satu yang terendah di Asia, apalagi pada level dunia. Pada tempatnya apabila cara-cara perlindungan tenaga kerja secara konvensional selama ini dikaji ulang. Upaya peningkatan produktivitas harus dilakukan secara sungguh-sungguh tanpa harus mengabaikan hak-hak pekerja.

Di sisi lain, betapapun Indonesia memerlukan bantuan Bank Dunia misalnya, sebagai Negara berdaulat sepantasnya Indonesia memasang posisi tawar yang tinggi, tidak perlu terlalu merendah, sebab sebenarnya Indonesia besar dan kaya, sehingga mustahil bisa diabaikan begitu saja oleh negara maju atau lembaga internasional semacam Bank Dunia/IMF.

“Percaya dirilah dan siapkan langkah-langkah cerdas untuk mewarnai regulasi perekonomian dunia. Lihat sukses Asian Games, bukan saja upacaranya, tapi juga prestasi atlitnya,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka