Jakarta, aktual.com – Dalam kajian ilmu Balaghah, lebih spesifiknya lagi “Ilmu Ma’ani” ada bab tentang (صيغة الأمر) “Shigat Amr” dimana redaksi perintah dalam bahasa Arab, bisa memiliki berbagai kesan makna yang secara gradasial, bertingkat sesuai dengan al-Khitab (الخطاب) “objek penutur” dan as-Siyaq (السياق) as-siyaq “Konteks” serta Muqtdha Hal (مقتضى الحال) kondisi ketika redaksi itu dimaksudkan.
Berdoa dengan kata lain adalah suatu permohonan dari bawah ke atas. Kebalikan dari “Perintah” intruksi dari atasan ke bawahan.
Jadi jika istilah berdoa dapat dipahami permohonan dari hamba kepada Tuhan, maka doa itu harusnya dipanjatkan dengan hati, bukan dengan teks. Dan jangan pernah menyodorkan teks doa pada para ulama untuk dibacakan.
Berdoa bukan maklumat, berdoa bukan deklarasi, berdoa bukan tuturan bahasa iklan. Berdoa adalah jalinan komunikasi kebathinan antara makhluk dengan Sang Khalik yang nantinya diantara kedua kutub tersebut akan terjalin hubungan signal antara receiver dan deliver.
Tidak ada larangan memang berdoa dengan teks atau membaca buku doa, tapi resonansi panjatan bait-bait doa yang dirangkai dengan bahasa yang ikhlas dari hati yang terdalam akan mengalami getaran yang lebih dahsyat, ketimbang doa yang dituntut oleh bahasa teks.
Mungkin kita pernah ikut berdoa di lapangan terbuka seperti apel rutin, dimana doa-doa berteks-teks panjang dibacakan, redaksional, tertata rapi, namun akan berbeda dengan doa yang dipanjatkan di majelis ta’lim yang dipanjatkan para ulama meski tanpa teks dan kadang tanpa kita pahami redaksinya, tapi kesan, nuansa ketakziman, dan kekhusukannya akan berbeda tentunya, bukan?
Doa yang sudah terucap, atau terpanjatkan, itulah signal bahasa hati yang terkirim dan berproses naik ke langit. Apalagi doa-doa yang dipanjatkan orang-orang yang bersih, orang-orang shaleh, hati mereka memiliki powerfull energi doa yang bisa membuat doa mereka lebih cepat melesat menerobos hijab langit. Jadi, tidak ada istilah doa itu bisa diralat atau direvisi, hehe..
Saya tergelitik saja membaca klarifikasi dari pendukung satu kubu yang menyikapi viralnya potongan video Mbah KH. Maimoen Zubair mendoakan Pak Prabowo, beliau dianggap mengalami kesalahan ucap atau dalam istilah Balaghah-nya disebut (سوابق اللسان) “Sawabiqul Lisan”. Ya, boleh jadi demikian.
Tapi ada hal yang jarang dipahami orang kebanyakan bahwa para ulama yang shaleh memiliki “Khatar” dalam istilahnya (خطر ببال) atau “Lintasan” bisikan isyarat hati yang apabila “Khatar” itu muncul, itulah petunjuk yang beliau ikuti. Kemunculannya hanya sepersekian detik saja.
Ketika seorang ulama, seorang yang dikenal shaleh dalam kehidupannya, pekerjaan beliau ilmu dan ibadah dalam kesehariannya, zikir dan ibadah amaliyahnya, saya sangat meyakini bahwa tidak akan ada istilah tergelincir ucapan (sawabiqul lisan) dalam doa beliau?
Sebab doa-doa mereka tidak lagi bersifat redaksional dari teks yang dibuat, tapi murni apa yang muncul dan hadir di hati mereka itu pula lah yang nampak zhahir dalam tutur lisan mereka. Semacam sinyal, komunikasi bathin mereka selalu hidup dan aktif, sehingga apa yang di dalam pikiran mereka itu pula lah yang terpanjatkan.
Jadi, lucu saja ketika seorang kyai besar dianggap salah ucap, lalu terkesan “dipaksa” untuk diralat atau diulangi doa tersebut. Mana adab dengan para ulama? Apakah hanya karena alasan politis, para politisi kehilangan adab terhadap seorang ulama?!!
Menjadi sangat tidak elok menurut saya, dalam adab tradisi kepesantrenan, ketika mengajak Kyai sepuh nge-vlog hanya demi memberikan klarifikasi atas “salah ucap” beliau mendoakan salah satu pasangan tertentu, meski sebenarnya itu fenomena dari isyarat “Khatar” hati yang saya sebutkan di atas tadi.
Maka di tulisan ini saya tidak sedang memperdebatkan, siapa yang harusnya didoakan oleh Kyai Maimoen, tapi yang saya sesalkan dan sayangkan adalah sikap dan adab politisi yang kurang elok, kurang adab terhadap para Kyai.
Kyai itu milik umat, bukan milik sekelompok golongan, apalagi partai tertentu saja. Jadi, ketika ada kejanggalan atau kekurangan adab seorang pemimpin, baik dia seorang birokrat atau politisi atau seorang santri sekalipun, maka tidak ada salahnya jika kita bisa saling mengingatkan dan mengambil pelajaran yang lebih baik lagi.
Watawashau bilhaq Watawashau bishabri.
Oleh: Ust. DR. Miftah el-Banjary, Dosen UIN Pangeran Antasari – Banjarmasin
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin