Jakarta, Aktual.co — Ada paradoks berkenaan dengan stigma ideologis atas Faisal Basri (FB). Ada yang menilai mantan Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) ini, sebagai sosok politisi berhaluan sosial demokrasi (sosdem). Di lain sisi, intelektual aktivis ini dituding sebagai agen neolib alias penganut ideologi neoliberalisme yang memuja pasar bebas. 
Yang pasti FB, seturut Arif Nurul Imam, rekan diskusi terdekatnya, mustahil menganut kedua ideologi tadi secara bersamaan. Karena pemikiran dari Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi yang kini popular disebut Tim Anti Mafia Migas ini, diyakini Arif, tidak mungkin berkelamin ganda. FB selaku ekonom dosen Universitas Indonesia (UI) ini, menurut Arif, pasti menganut salah satu paham itu. Entah sosdem atau pemuja pasar bebas.
Untuk menilai objektif paham seseorang, itu bisa dilacak lewat aktivitas gerakan maupun pokok pemikirannya. Sehingga, penilai tidak terperosok dalam tudingan tanpa data dan fakta objektif.  Apalagi jika hal itu menjurus pada stigma atau labelisasi, yang tak urung dipelintir sebagai alat kepentingan politik pendiskreditan seseorang.
Sewaktu mendirikan PAN, jelas Arif, FB beserta tim perumus lain mendesain partai berlambang matahari ini agar berhaluan sosdem. FB bersama Profesor Dawam Raharjo saat itu bergumul dalam perdebatan ideologis untuk menyusun platform dan garis haluan PAN. 
Tahun 2004, sekeluar dari PAN, FB mendirikan Pergerakan Indonesia. Ormas yang dipimpin Arie Sujito, dosen Fisipol UGM ini, berhaluan sosdem. FB pun acap berdiskusi dengan Profesor Thomas Meyer, Dewan Penasehat Partai Sosial Demokrat (SPD) Jerman mengenai tantangan dan prospek sosdem di Indonesia.
Sebagai intelektual, FB juga aktif sebagai redaktur di jurnal sosial demokrasi terbitan NGO internasional di Jakarta. Jurnal ini juga sarana diseminasi gagasan yang  mengupas persoalan yang melingkupi gerakan sosdem di Indonesia.
Beberapa pandangan FB yang menarik disimak, pertama soal pasar. Agar pasar tidak anarkis, FB mendesak peran negara harus diperbesar seiring dengan kian membesarnya peran pasar. Pasar itu  tak bisa dimusuhi, tapi harus dikendalikan negara. Sehingga, pasar dijamin tidak menimbulkan jurang antara yang super kaya dengan yang miskin.
Persepsi itu, bagi Arif, menunjukkan FB bukan pemuja pasar sebagaimana neolib rumusan Adam Smith yang mendorong terbentuknya  pasar persaingan sempurna yang harus bebas dari campur tangan pemerintah. Perspektif FB atas pasar yang harus dikendalikan negara untuk melindungi kelompok yang lemah itu, senafas dengan cara pandang sosdem. 
Kedua, ihwal jaminan sosial. FB dalam berbagai tulisan dan presentasi berulang kali mendesak pemerintah segera memberlakukan sistem jaminan sosial secara komprehensif. Terutama  mengingat sektor informal merupakan sektor penampung tenaga kerja terbanyak, hingga kini tidak memiliki jaminan sosial. Potensi kerentanan ini wajib segera diatasi pemerintah dengan sistem jaminan sosial sebagai harga mutlak.
Lantas mengapa FB kini malah kerap dituding sebagai agen neolib? Mungkin karena, pertama, Fakultas Ekonomi (FE) UI selalu dianggap sebagai gudang ekonom neolib. Prof. Edi Swasono, ekonom UI dalam suatu seminar di Yogyakarta pernah menyebut FE UI sebagai sarang neolib di Indonesia. Malah semasa Orde Baru, FE UI dikenal sebagai sarang Mafia Berkeley.
Alhasil stigma FEUI pun menggeneralisasi persepsi atas segenap alumni, termasuk FB. Apalagi FB pun sempat melanjut studi di Vanderbilt University, Amerika Serikat. Lengkap sudah atribut stigma neolib. Padahal sebagai dosen, FB enggan mengajarkan materi kuliah yang dulu diterima dari para seniornya semasa kuliah. Bahkan karena menyusun diktat sendiri sesuai nafas sosdem, FB malah dianggap ‘nyempal’ dari madzab mainstream.
Kedua, stigma FB itu neolib juga menguat sejalan memanasnya isu politik, terutama soal Bahan Bakar Minyak (BBM). Isu ini selalu menjadi isu panas setiap rejim karena menyangkut hajat hidup orang banyak. FB konsisten mendukung pengurangan subsidi BBM karena subsidi itu menjadi kanker ganas yang menggerogoti APBN. Padahal subsidi itu seharusnya disalurkan guna mendanai sektor-sektor strategis, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dana subsidi tahun 2014 ini hampir mencapai Rp 250 trilyun, habis dibakar untuk subsidi BBM. 
Apalagi FB juga menilai subsidi BBM tak adil. Karena dana sebesar itu seharusnya diutamakan untuk mensubsidi orang miskin dan membiayai pembangunan bukan untuk kenikmatan kelas menengah ke atas. Apalagi Indonesia saat ini dikarunia bonus demografi yang jika bisa diefektifkan dalam mengelola keuangan negara niscaya mempercepat pemakmuran rakyat. Untuk itu, menurut Arif, FB akhirnya bersedia tampil ke depan memimpin pembrantasan Mafia Migas. Pengurangan subsidi BBM, diyakini FB, didasari fakta objektif postur APBN, rasa keadilan, dan momentum menjadi negara maju. Bukan soal pemuja pasar atau sebaliknya anti pasar.
Tudingan sebagai agen neolib, ditanggapi enteng FB. Tudingan itu dinilai FB hanya digunakan sebagai alat kepentingan politik untuk mendelegitimasi dan mendiskreditkan. Apalagi kepada penulis, FB dalam berbagai kesempatan terpisah, acap menyebut diri selaku keluarga mantan Wakil Presiden Adam Malik Batubara, dia tidak akan pernah meninggalkan ajaran Tan Malaka, untuk selalu mengutamakan kepentingan rakyat murba. 
Pendiskreditan dan pendelegitimasian. Mungkin dua kata serapan Bahasa Barat itu lebih mampu  melukiskan gerangan apa yang terjadi kini. Stigma neolib hari ini, serasa mirip stigma politik Orde Baru atas kelompok pesaing yang tidak disukai. Labelisasi bagi kelompok kritis dengan stigma komunis, maupun kemudian stigma ekstremis Islam, seakan kini berganti dengan Neolib. 
Lebih enak mana, kita dituding sebagai komunis, atau sebagai ektremis Islam, atau kini sebagai Neolib? 

Artikel ini ditulis oleh: