Ilustrasi- Buku-Buku Hadits

Jakarta, Aktual.com– Sudah kita ketahui bersama bahwa hadits-hadits yang dibukukan oleh Imam Bukhari dan Muslim merupakan hadits shahih yang bisa digunakan untuk berhujjah secara hukum dann memiliki derajat yang tinggi, bahkan termasuk kitab yang paling shahih setelah al-Quran. Lalu bagaimana jika ada beberapa kalangan justru melemahkan hadits-hadits tersebut?

Dalam hal ini ada dua pendapat dari ulama-ulama hadits, yaitu:

Pertama, pintu ijtihad telah ditutup

Beberapa ulama berpendapat seperti ini dan mereka menilai bahwa kita hanya boleh mengambil pendapat ulama terdahulu sebagai rujukan dalam menilai sebuah hadits. Sebagaimana Ibnu Shalah, seorang ulama hadits terkemuka abad keenam Hijriah, dalam kitabnya Ma’rifat Anwa’ ‘Ulum al-Hadits,

“Ketika kita menemukan sebuah hadits dalam nukilan-nukilan kitab dengan sanad yang berderajat shahih—tetapi kita tidak menemukan hadits serupa dalam Shahih al-Bukhari dan Sahih Muslim; kita juga tidak menemukan penilaian hadits tersebut dari para ulama besar ilmu hadits yang masyhur—maka kita tidak boleh terburu-buru menilai shahih hadits tersebut. Karena zaman sekarang (abad keenam Hijriah) sudah sangat sulit memberikan derajat shahih pada sebuah hadits dengan sebatas mempertimbangkan sanadnya. Kita juga melihat (di zaman sekarang) tidak ada sanad hadits kecuali mereka merujuk sanadnya kepada kitab-kitab pedoman mereka. Di sisi lain, mereka (para pelajar hadits) juga lemah dalam persyaratan dhabt, ketelitian, dan kekuatan hafalan yang telah disyaratkan oleh ulama terdahulu (mutaqaddimin). Maka, satu-satunya cara menilai shahih dan hasan sebuah hadits adalah dengan merujuk pendapat para tokoh panutan ilmu hadits dalam kitab-kitab mereka yang bebas dari pemalsuan dan perubahan.”

Ibnu Shalah juga menukil pendapat dari Abu Bakar al-Baihaqi beliau mengatakan bahwa seseorang yang datang membawa sebuah hadits akan tetapi tidak ditemukan pada kitab-kitab ulama besar ilmu hadits yang muktabar maka hadits tersebut tidak diterima sebagai hadits.

Kedua, pintu penelitian hadits masih terbuka

Pendapat kedua mengatakan bahwa pintu ijtihad dalam hadits masih terbuka lebar sepanjang zaman. Akan tetapi, hanya boleh dilakukan oleh ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dalam ilmu hadits. Pendapat ini seperti yang diutarakan oleh Imam Nawawi dalam kitab at-Taqrib wa at-Taisir.

“Barang siapa di zaman sekarang menemukan sebuah hadits yang shahih sanadnya dalam sebuah kitab atau dalam sebuah jilid kitab tertentu yang tidak dishahihkan oleh para pakar ulama Hadits yang dijadikan rujukan, menurut Syekh Taqiyuddin, kita tidak boleh menshahihkan hadits tersebut karena lemahnya kemampuan penduduk zaman sekarang. Sedangkan menurutku (an-Nawawi) yang paling tepat adalah diperbolehkan menshahihkan hadits tersebut bagi orang yang mampu dan kuat keilmuannya dalam ilmu hadits.”

Pendapat dari Imam Nawawi ini didukung oleh beberapa pakar hadits termasuk Imam al-Hafidz al-Iraqi, beliau mengatakan bahwa pendapat yang diutarakan oleh Imam Nawawi merupakan pendapat yang dipilih oleh ulama hadits. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ulama periode akhir yang menshahihkan beberapa hadits yang belum pernah diteliti oleh ulama-ulama terdahulu.

Walhasil dari beberapa pendapat ulama di atas penelitian derajat hadits hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kriteria dan kredibilitas mumpuni dalam ilmu hadits. Akan tetapi, untuk menjadi seorang pakar dalam ilmu hadits sangatlah ketat, sebagaimana Imam as-Sakhawi berkata.

“Menurut para pakar ilmu hadits yang dinamakan dengan al-Muhaddits (pakar hadits) secara umumnya adalah seseorang yang telah mencatat, membaca, mendengarkan, dan menghafalkan hadits Rasulullah, ia telah mengembara ke berbagai kota dan negara untuk mencari ilmu hadits, ia juga telah berhasil memahami dasar ilmu hadits, telah meneliti pembahasan yang ada pada kitab-kitab kumpulan sanad hadits (al-Masanid), kitab-kitab penelitian sanad hadits (al-‘Ilal), dan kitab-kitab sejarah ilmu hadits (at-Tawarikh) minimal sekitar seribu karya tulis ilmiah yang muktabar.”

Wallahu a’lam

(Rizky Zulkarnain)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arie Saputra