Sejumlah aparat TNI membuat barikade untuk menutupi pagar yang jebol di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (29/8/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

Jakarta, actual.com – Semua respon yang datang kemudian dari Presiden Prabowo hingga Ketua Umum Partai mengenai aksi yang berbuntut anarkis menimbulkan tanya. Haruskah rakyat bertindak anarki hingga nyawa melayang terlebih dulu untuk menolak kebijakan penguasa dan didengar? Lalu apa gunanya partai politik sebagai pilar demokrasi dan parlemen sebagai penyambung lidah rakyat, kalau rakyat harus mengamuk dulu agar kebijakan penguasa dibatalkan?

Direktur Visi Indonesia Strategis Abdul Hamied menilai, amuk massa selama beberapa hari terakhir mestinya menjadi cambuk keras bagi parpol dan parlemen untuk berbenah dan memperbaiki diri. Ia melihat kemarahan publik sudah pada titik klimaksnya terhadap DPR.

Parpol dan Parlemen selama ini dinilainya tuli, karena tidak pernah mau mendengar kehendak rakyat yang bersebrangan dengan kepentingan politik atau pribadi mereka. Hal ini karena parpol dan parlemen dikuasai oleh oligarki, sekelompok kecil individu yang memiliki kekuatan signifikan atas sumber daya, ekonomi, dan kebijakan negara.

“Mereka hanya bergerak cepat ketika memperjuangkan kepentingan oligarki atau pemilik modal. Bila terkait kepentingan rakyat atau publik mereka lambat, dan beralasan segala macam. Baru ketika rakyat mengamuk, tuntutannya didengar,” kata Hamied.

Baca Juga:

DPR Pongah, Kinerja Buruk dan Penghasilan Selangit Bikin Rakyat Murka

Sebagai negara demokrasi harusnya menjadi kewajiban parpol dan DPR untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyatnya tanpa rakyat harus mengamuk dulu. Apalagi terkait usulan kenaikan tunjangan sewa rumah. Publik yang menolak justru mendapat makian dan disepelekan oleh anggota DPR.

“Hal itu kan sangat menyakitkan dan membuat luka hati yang dalam terhadap rakyat,” jelas Hamied.

Hamied menyampaikan, tugas DPR untuk memperjuangkan kepentingan rakyat mestinya dalam kondisi dan situasi apapun. Rakyat tak mau tahu, misalnya, mereka dibatasi bahkan terkooptasi oleh ketua umum parpol, dan oligarki.

“Bahwa misalnya mereka takut dengan ketum parpol, oligarki, atau orangnya penguasa yang di DPR, rakyat tak melihat itu. Rakyat hanya melihat, sebagai anggota DPR mereka sudah digaji dan dapat fasilitas karenanya kinerja mereka harus benar memperjuangan kepentingan rakyat,” paparnya.

Baca Juga:

Hindari Darurat Militer, Setop Penjarahan!

Pakar hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga Gugun El Guyani menyebutkan ada hal urgen yang harus dibenahi dari sistem kepartaian di Indonesia, mengingat tersumbarnya kepentingan rakyat di tangan parpol. Sistem kepartaian saat ini, katanya, cenderung membuat parpol dikuasi oligarki, atau pemilik modal

“Benahi sistem kepartaian, kita berkali-kali revisi UU Pemilu, tapi UU Parpol tidak pernah diperbarui, membuat partai dikuasai oligarki, mereka yang jadi ketum dan berkuasa ya bos-bos partai,” papar Gugun.

Sehingga, katanya, parlemen tidak berkutik, dan menuruti kemauan serta kepentingan oligarki itu. Hal inilah yang membuat rakyat marah, karena tidak ada check and balances hilang, dan tidak tahu lagi harus ke mana untuk menyampaikan aspirasi.

“Bisa jadi kan eksekutif membungkam DPR dengan menaikkan tunjangan mereka sebagai konsekuensi agar parlemen tidak kritis lagi, ini melalui tangan-tangan ketum parpol,” ucap Gugun.

Karena itu, menurut Gugun, setidaknya harus ada batasan jabatan ketum di UU Parpol. Tidak bisa lagi ada parpol yang masa jabatan ketumnya seumur hidup.

“Kemudian harus ada perbaikan di pendanaan, dan kemandirian parpol. Selama ini, pendanaan parpol kan dicukongi oleh bandar dan mafia di tambang, media, migas, hutan, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Baca Juga:

Damailah! Cukup Luka, Mari Jaga Persatuan

Sementara itu Direktur Eksekutif Citra Institute Yusak Farchan menyampaikan, kemarahan publik dalam aksi demo 25 Agustus dan 28 Agustus merupakan akumulasi kejenuhan dan ketidaksukaan terhadap pemerintah maupun DPR yang sudah menumpuk.

“Misalnya, rakyat disuruh bayar pajak tapi lapangan pekerjaan susah. Rakyat bayar pajak tinggi tapi anggota DPR naik tunjangannya. Apalagi, di luar gaji kan masih banyak tunjangan yang jumlahnya fantastis,” ungkap Yusak.

Di sisi lain, ucap Yusak, parpol dan parlemen tersumbat perannya sebagai check and balance dari kebijakan pemerintah. Mereka, katanya, kurang memainkan perannya secara optimal dalam melaksanakan fungsi-fungsinya.

“Yang kita harapkan kan parpol dan DPR  bisa berfungsi sebagai check and balances, bukan hanya stempel pemerintah, atau bahkan oligarki” ujarnya.

Reformasi Parpol, Tertibkan Kader di DPR Atau Ganti Ketua Umum

Reformasi partai politik untuk wakil rakyat lebih baik dan bebas kepentingan oligarki menjadi hal yang harus segera dilakukan. Parpol tak cukup memberi sangksi bagi anggotanya yang pongah dan membuat rakyat kesal. Parpol harus bertanggung jawab atas sikap kadernya yang memicu amuk masa hingga berbuat anarkis dan merenggut nyawa pengemudi ojek on line Affan Kurniawan.

Analis komunikasi politik Kedai Kopi Hendri Satrio menyatakan mestinya anggota parlemen sadar bahwa yang memilih mereka adalah rakyat, dan konstituennya. Sehingga, apa yang diperjuangkan pun harusnya kepentingan rakyat.

“Anggota DPR memang juga anggota parpol, tapi itu kan ketika mereka berada di luar. Nah, ketika di DPR kan mereka anggota DPR. Jadi tetap harus perjuangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan parpol, atau bahkan oligarki dan pemilik modal,” kata Hensat, sapaannya.

Baca Juga:

Gibran Absen, Prabowo Tegaskan Negara Siaga Hadapi Ancaman Makar

Karena itu, bila ada anggota DPR merasa terbelenggu oleh ketum parpolnya, semestinya mereka memilih ketum parpol yang berpihak kepada rakyat.

“Kalau anggota DPR-nya merasa terkontrol oleh ketum parpolnya, ya ganti aja ketumnya yang berada di pihak rakyat,” tegasnya.

Sementara itu Pakar hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga Gugun El Guyani menyebutkan ada hal urgen yang harus dibenahi dari sistem kepartaian di Indonesia, mengingat tersumbarnya kepentingan rakyat di tangan parpol. Sistem kepartaian saat ini, katanya, cenderung membuat parpol dikuasi oligarki, atau pemilik modal

“Benahi sistem kepartaian, kita berkali-kali revisi UU Pemilu, tapi UU Parpol tidak pernah diperbarui, membuat partai dikuasai oligarki, mereka yang jadi ketum dan berkuasa ya bos-bos partai,” papar Gugun.

Sehingga, parlemen tidak berkutik, dan menuruti kemauan serta kepentingan oligarki itu. Hal inilah yang membuat rakyat marah, karena tidak ada check and balances hilang, dan tidak tahu lagi harus ke mana untuk menyampaikan aspirasi.

“Bisa jadi kan eksekutif membungkam DPR dengan menaikkan tunjangan mereka sebagai konsekuensi agar parlemen tidak kritis lagi, ini melalui tangan-tangan ketum parpol,” ucap Gugun.

Karena itu, menurut Gugun, setidaknya harus ada batasan jabatan ketum di UU Parpol. Tidak bisa lagi ada parpol yang masa jabatan ketumnya seumur hidup.

“Kemudian harus ada perbaikan di pendanaan, dan kemandirian parpol. Selama ini, pendanaan parpol kan dicukongi oleh bandar dan mafia di tambang, media, migas, hutan, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Baca Juga:

Mengapa dan Siapa di Balik Aksi Anarkis Jelang Satu Tahun Pemerintahan Prabowo?

Disisi lain Direktur Visi Indonesia Strategis Abdul Hamied menegaskan Parpol harus berbenah, dengan memberi ruang kepada anggotanya di DPR untuk bersuara bebas memperjuangkan kepentingan publik, bukan kepentingan penguasa, oligarki atau pemilik modal.

“Parpol jangan membelenggu anggotanya di DPR untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Jangan karena anggotanya bersuara kritis ke pemerintah, oligarki, atau pemilik modal, lalu mereka ditegur dan diancam di-PAW,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Pakar hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga Gugun El Guyani menyebutkan ada hal urgen yang harus dibenahi dari sistem kepartaian di Indonesia, mengingat tersumbarnya kepentingan rakyat di tangan parpol. Sistem kepartaian saat ini, katanya, cenderung membuat parpol dikuasi oligarki, atau pemilik modal.

“Benahi sistem kepartaian, kita berkali-kali revisi UU Pemilu, tapi UU Parpol tidak pernah diperbarui, membuat partai dikuasai oligarki, mereka yang jadi ketum dan berkuasa ya bos-bos partai,” papar Gugun.

Sehingga, katanya, parlemen tidak berkutik, dan menuruti kemauan serta kepentingan oligarki itu. Hal inilah yang membuat rakyat marah, karena tidak ada check and balances hilang, dan tidak tahu lagi harus ke mana untuk menyampaikan aspirasi.

“Bisa jadi kan eksekutif membungkam DPR dengan menaikkan tunjangan mereka sebagai konsekuensi agar parlemen tidak kritis lagi, ini melalui tangan-tangan ketum parpol,” ucap Gugun.

Karena itu, menurut Gugun, setidaknya harus ada batasan jabatan ketum di UU Parpol. Tidak bisa lagi ada parpol yang masa jabatan ketumnya seumur hidup.

“Kemudian harus ada perbaikan di pendanaan, dan kemandirian parpol. Selama ini, pendanaan parpol kan dicukongi oleh bandar dan mafia di tambang, media, migas, hutan, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

 

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi