Kekayaan minyak yang melimpah di Saudi, sedari awal sangat tergantung pada Amerika Serikat. (ilustrasi/aktual.com)

Kadang sebuah negara tak perlu ditaklukkan melalui kekuatan bersenjata. Arab Saudi, negara kaya minyak di Timur-Tengah, berhasil dikuasai sektor perminyakannya melalui sebuah perusahaan minyak raksasa AS. Standard Oil Company of California (SOCAL) yang sekarang menjelma bernama Chevron.

Cadangan minyak Arab Saudi sekarang ini kurang lebih 600 miliar barrel. Namun untuk menggambarkan kekayaan minyak Arab Saudi, harus dirunut ke tahun 1938. Sumur nomor tujuh di Dammam, Ibukota propinsi bagian timur Saudi, merupakan sumur minyak pertama di Saudi. Seperti apa sumur kelahiran sang jabang bayi minyak yang kemudian mengubah Semenanjung Arabia itu?

Kalau melihat selintas, tak ada yang istimewa dengan sumur yang bersejarah ini. “Terletak di sebidang tanah yang dipagari dan pintunya terkunci, pipa-pipa sumur itu telah lama ditutup. Semua tampak terawat bersih, Di dekatnya dibangun sebuah tanda peringatan kecil yang menyebutkan di tempat itulah minyak pertama kali menyembur keras pada Maret 1938.” Begitu tulis Joko Pitono H.P seorang wartawan Indonesia ketika berkunjung ke Saudi, dalam bukunya bertajuk Krisis Teluk dan Pembantaian di Masjidil Aqsa.

Sayangnya kekayaan melimpah Saudi ini, sedari awal sangat tergantung pada Amerika Serikat. Penemu sumur nomor tujuh di Dammam ini, adalah para teknisi dari Standard Oil Company of California (SOCAL) yang kini bernama Chevron. Yang mendapatklan izin eksplorasinya dari pemerintahan Saudi pada 1933.

Pada waktu itu, Raja pertama Saudi, Abdul Aziz bin Ibnu Saud, ingin sekali memodernisasi sistem transportasi dan komunikasi di wilayah kekuasaannya. Rupanya gambaran negara modern ala Raja dari dinasti ibnu Saud tersebut sangat bersifat material sekali seperti peningktan jumlah mobil, pesawat terbang dan juga sistem telegraf. Nah, kebutuhannya yang seperti itu untuk mendapatkan sumber-sumber dana mendorongnya untuk memberikan konsesi pertama eksplorasi minyak kepada sebuah perusahaan Inggris pada 1923.

Tapi, ternyata konsesi itu tidak digunakan dan kontraknya pun diperbarui setelah habis pada 1933. Dengan kata lain, amat mengecewakan Raja Saudi. Sementara itu, sejak dekade 1920-an dan awal 1930-an banyak orang Amerika yang berkunjung ke Saudi yang juga berminat investasi dalam bidang minyak.

Rupanya, dari sekian banyak perusahaan AS, Raja Saudi terkesan dengan SOCAL. Maka pada 23 September 1933, Karl S Twitchell,bergabung dengan dua ahli geologi Amerika Art P Miller dan SB (Krug) Henry, yang sudah tiba sebelumnya.

Sebulan kemudian disusul J.W (Soak) Hoover, yang membawa peralatan yang diperlukan dari AS.

Pada musim panas 1934, riset eksplorasi dan keputusan dibuat untuk menguji kawasan “Kubah Dammam.” Satu sumur, dua sumur, tiga sumur, tak juga muncul minyak dalam jumlah besar. Pihak SOCAL pun sudah khawatir karena setelah beberapa tahun tak ada hasil.

Saat hampir putus asa itulah, muncul sebuah harapan besar dari sumur nomor tujuh, yang telah dihentikan penggaliannya pada 1936, tapi kemudian diteruskan lagi penggaliannya pada 1937. Maka pada Maret 1938, keajaiban terjadi. Minyak menyembur dengan keras. Terbentulah The Arabian American Oil Company (ARAMCO). Sejak saat itu, puluhan sumur minyak ditemukan kemudian.

Cerita selanjutnya, merupakan hal yang fantastis dialami Arab Saudi. Meski sempat mengalami berbagai hambatan, pada Mei 1939 Saudi kali pertama menjadi negara pengekspor minyak lewat laut dengan tanker D.G Scofield, yang juga dihadiri oleh Raja Abdul Aziz. Sayangnya arus minyak sempat terhenti dengan pecahnya Perang Dunia II pada 1939. Pada 1943, aktivitas dipulihkan kembali secara terbatas. Memproduksi hingga 50 ribu barrel per hari lewat kilang Ras Tanura.

Produksi yang rata-rata kurang dari 20 ribu barel per hari sebelum 1944 kemudian naik jadi 500 ribu barel per hari pada akhir 1949. Dari 1950 sampai 1969, minyak mentah produksi Aramco naik rata-rata 9 persen setiap tahunnya. Data pada tahun 1989 menunjukkan minyak mentah Saudi Aramco rata-rata 4.863.533 barel per hari. Fantastis bukan? Zaman segitu saja Saudi sudah mampu menghasilkan 4 juta lebih barel per hari, sedangkan Indonesia sekarang hanya kisaran 800 ribu barrel per hari.

Dengan kapasitas produksi seperti itu, berikut porsi produksi dari Zone Netral Partisi Kuwait, membuat Arab Saudi menjadi penghasil minyak terbesar ketiga saat itu setelah AS dan Uni Soviet (Rusia). Maka dengan hasil minyak itulah pemerintah Saudi membangun negeri itu secara fantastis. Miliaran dolar AS membanjir seperti hujan dari langit. Bahkan dalam Krisis Perang Teluk pertama pada 1991, produksi minyak Saudi sempat digenjot menjadi 7 juta barrel per hari. Sebagai pengganti minyak yang tak tersalur dari Irak dan Kuwait.

Alhasil, kekayaan Saudi Aramco luar biasa sekali. Pada 1989, produksi minyak Aramco merupakan 96 persen  seluruh produksi minyak Saudi. Jumlah kumulatif sejak minyak ditemukan sekitar 57,3 miliar barrel. Perusahaan itu telah menemukan 55 sumur komersial sejak ditemukannya sumur nomor tujuh.

Maka tak heran jika pada akhir 1989, cadangan minyak Saudi tercatat 257.504 miliar barel dan 180.355 triliun kubik kaki cadangan gas bumi termasuk associated and non associated gas. Dari data ini saja tergambar bahwa di balik gurun pasir kerontang Saudi tersimpan seperempat cadangan minyak sejagat. Kalau tidak mau dikatakan terbesar di dunia. Namun ya itu tadi, semua kelimpahan itu jimatnya tetap bermula dari lahirnya sang jabang bayi minyak: Sumur Nomor Tujuh di Dammam.

Ironisnya, dengan segala kelimpahan kekayaan minyak Saudi, penguasa sesungguhnya sektor perminyakan Saudi adalah AS, utamanya Chevron. Tak mengherankan jika tentara AS bercokol di Arab Saudi, Kuwait, Bahrain dan Qatar.  Sekadar informasi, sumur nomor tujuh yang mana minyak Saudi pertama kali ditemukan, terletak di balik Zone Bahrain pada kedalaman 1441 meter (4727 kaki) di suatu tempat yang disebut “Zone Arab.”

Foto Peta Politik Arab+Juni10

Setelah SOCAL mendapat konsesi ekslorasi minyak di Saudi, pekerjaan itu diserahkan kepada anak perusahaannya, California Arabian Standard Oil Company (CASOC). Pada 1936, Texas Company, yang kini bernama Texaco, memiliki separuh saham CASOC. Pada 1944, CASOC menggantikan namanya menjadi Aramco. Maka, konsesi pun diperbarui berkali-kali.

Pada 1948, dua perusahaan besar minyak AS membeli saham di Aramco, Berdasarkan perjanjian baru, saham SOCAL di Aramco menjadi 30 persen. Standard Oil of New Jersey, yang kini bernama Exxon, dan Terxaco masing-masing memegang 30 persen saham. Dan Socony Vacuum, yang kini bernama Mobil, memegang 10 persen saham. Antara 1975 dan 1979, Mobil menaikkan sahamnya menjadi 15 persen dan perusahaan lainnya berkurang sahamnya.

Kalau kita amati konfigurasi kepemilikan saham seperti tertera di atas, memang pada awalnya pihak korporasi AS menguasai sektor minyak Saudi. Namun pada 1973, menyusul keberhasilan Presiden Mesir Anwar Sadqat mengalami mengalahkan Israel secara militer di Gurun Sinai dan Dataran Tinggi Golan, secara psikologis membangkitkan kebanggan Arab. Sehingga berdampak positif bagi Arab Saudi dalam posisi tawarnya yang semakin menguat menghadapi kepentingan global AS.

Sehingga pada 1973 itu pula, pemerintah Saudi berhasil membeli 25 persen saham di Aramco.  Bahkan tahun berikutnya, naik jadi 60 persen. Bahkan pada 1980, seluruh saham di Aramco dimiliki pemerintah Saudi. Pada 1988, lewat Dekrit Raja, Saudi Aramco dibentuk pada November 1988, untuk memegang tanggungjawab manajerial dan operasi yang dijalankan oleh Aramco untuk pemerintah Saudi.

Hanya saja konfigurasi kepemilikan yang terkesan sudah beralih sepenuhnya ke tangan kerajaan Saudi, belum tentu mencerminkan daulat minyak Saudi. Sebab manuver Saudi membeli saham Aramco pada kenyataannya belum tentu bersumber dari keuangan Kerajaan Arab Saudi. Lebih daripada itu, meskipun secara kepemilikan Saudi memegang saham mayoritas, yang sesungguhnya mengetahui berapa revenue dan Lifting minyak Saudi sesungguhnya, ya para ahli perminyakan dan keuangan yang bekerja untuk Chevron dan ExxonMobil.

Namun, secara geopolitik Arab Saudi juga tak kalah strategis nilainya dengan kekayaan minyaknya, dalam sudut pandang strategi global AS dan Inggris. Arab Saudi terletak bersebelahan dengan dua benua, Eropa dan Afrika.

Secara geografis Arab Saudi terbentang dari laut Merah dan teluk Aqaba di sebelah barat hingga teluk Arab di sebelah Selatan, sedangkan di sebelah utara, Arab Saudi berbatasan langsung dengan negara Yordania, Irak, dan Kuwait.

Arab Saudi juga berbatasan dengan Yaman dan Oman dan di sebelah timur negara penghasil minyak ini berbatasan dengan teluk Arab, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain. Arab Saudi memiliki bentang alam yang tandus, terdiri dari pegunungan, gurun, dan dataran tinggi dengan iklim yang panas setiap hari.

Ini yang sekaligus menjelaskan mengapa pada 1981 dibentuk negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (Guf Cooperation Council/GCC) yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Jordania. Yang mana negara-negara tersebut hingga kini merupakan negara-negara satelit AS dan Inggris.

Selain itu, secara geopolitik negara-negara anggota GCC tersebut bertaut satu sama lain baik dari segi kekayaan alam minyak maupun hubungan kekerabatan antara keluarga dinasti Arab Saudi dan negara-negara GCC tersebut. Kecuali Jordania yang semula merupakan satu kesatuan tak terpisah dengan Irak secara geneologi.

Maka ketika Qatar saat ini diisolasi dan diembargo menyusul aksi berjamaah Arab Saudi-Kuwait-Bahrai-Uni Emirat Arab-Mesir terhadap Qatar yang notabene merupakan salah satu anggota negara-negara GCC, sepertinya ada yang menghawatirkan AS-Inggris sehingga perlu mendorong aksi destabilisasi di Timur Tengah, sehingga bisa menata ulang kembali geopolitik Timur Tengah.

Salah satu yang menghawatirkan AS dan Inggris adalah, mulai merosotnya cadangan minyak dan menurunya kapasitas produksi minyak Saudi gara-gara turunnya harga minyak dunia. Dalam bayangan Saudi, Isolasi dan embargo terhadap Qatar, akan menciptakan situasi yang parallel dengan serangan militer Israel terhadap Mesir di Gurun Sinai pada 1967, yang mana Arab Saudi menjadi pemasok minyak terbesar di kawasan itu, sehingga selain dalam posisi kuat menentukan harga minyak per barrel-nya, juga memperkuat posisi tawar politiknya menghadapi kepentingan-kepentingan AS dan blok Eropa Barat.

Hendrajit