Jakarta, Aktual.com — Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dinilai bukan jawaban yang tepat bagi upaya pemberdayaan koperasi dan UMKM di tengah kondisi melambatnya perekonomian global. Selama ini para pelaku UMKM justru mengalami kesulitan mengakses KUR karena belum bankable hingga mereka kesulitan memenuhi kriteria dan syarat yang ditetapkan perbankan.
“Mereka tidak pernah mempersoalkan suku bunga, selama mudah diakses tidak masalah untuk UMKM. Sayangnya hal ini justru tidak menjadi perhatian oleh pemerintah,” ujar Ketua Co-operative Research Institute (CRI) Irsyad Muchtar di Jakarta, Minggu (13/9).
Pemerintah lebih menganggap penurunan bunga KUR sebagai solusi bagi persoalan modal UMKM. Kini bunga KUR telah ditetapkan 12 persen pertahun dari sebelumnya 22-23 persen pertahun.
Pemerintah bahkan menjadikan KUR sebagai salah satu pendorong kebijakan ekonomi makro dalam paket kebijakan September 1 untuk point penguatan peran koperasi dan UMKM.
Namun penelitian CRI beberapa waktu lalu terutama di Jawa Timur menemukan sebagian besar nasabah KUR adalah para pelaku usaha yang telah bankable.
“Pelaku usaha mikro seperti PKL atau pedagang kecil justru banyak yang tidak tahu apa itu KUR,” katanya.
Menurut dia, subsidi bunga KUR yang nilainya triliun rupiah itu cenderung salah sasaran ketika diberikan kepada perbankan penyalur KUR agar mau menekan suku bunga mereka.
“Ini seperti memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah untuk meminta bank BUMN berpihak pada usaha mikro kecil,” katanya.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 pagu subsidi bunga kredit program secara keseluruhan sebesar Rp2,5 triliun. Anggaran subsidi bunga KUR mencapai Rp400 miliar. Apabila anggaran subsidi bunga KUR tersebut kurang, maka pemerintah akan menggunakan pagu subsidi bunga kredit secara keseluruhan.
Irsyad berpendapat idealnya dana subsidi itu disalurkan langsung kepada pelaku usaha mikro dalam bentuk bantuan sosial (bansos) atau start up bagi wirausaha pemula.
“Tapi tentu kita harus gunakan skema yang tepat agar tidak mengundang terjadinya moral hazard,” katanya.
Ia menegaskan masyarakat di Indonesia masih memerlukan dana bansos sebagai cara pemberdayaan langsung.
Sedangkan pengucuran subsidi kepada perbankan secara langsung untuk menurunkan suku bunga dinilainya salah sasaran dan justru menyakiti rasa keadilan bagi masyarakat.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka