Jakarta, Aktual.com — Direktur Initiative for Equality (Amerika) dan peneliti dari Universitas Standford Amerika Serikat, Deborah S Rogers, menduga ketimpangan adalah masalah sistemik yang sengaja diciptakan penguasa ekonomi.
“Karena pertumbuhan ekonomi seharusnya mendekatkan pendapatan negara miskin ke negara kaya. Tapi tidak demikian karena negara kaya sangat mempengaruhi kondisi ekonomi,” kata Deborah dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (26/9).
Oleh karena itu, ia mendorong salah satunya agar ada pembatasan kerjasama ekonomi atau praktik investasi asing (foreign direct investment/FDI) yang tidak sehat.
Direktur INFID Indonesia Sugeng Bahagiyo mengatakan meski jumlah penduduk sangat miskin berkurang, tapi ketimpangan masih tinggi karena ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi.
“Pendapatan masyarakat sangat miskin tumbuh tapi tidak cukup besar,” katanya.
Menurut Sugeng, untuk mengatasi ketimpangan antarnegara membutuhkan usaha dan kerja sama kuat dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor bisnis agar amanat tujuan Nomor 10 SDGs, yaitu mengurangi ketimpangan bisa tercapai di tahun 2030.
“Kerjasama itu perlu mempertimbangkan aspek keterbukaan data yang akurat serta perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia,” ujar Sugeng.
Berdasarkan catatan lembaga Oxfam Internasional terjadi pemusatan kekayaan di dunia. Kelompok orang kaya yang berjumlah satu persen dari sekitar 8,5 miliar jiwa jumlah penduduk dunia menguasai 50 persen sumber daya alam.
Bentuk ketimpangan juga tampak dalam angka harapan hidup. Di Indonesia perbedaannya sekitar 16 tahun, angka harapan hidup orang kaya hingga 70,8 tahun, sedangkan orang miskin hanya 53 tahun.
Tingginya angka ketimpangan diberbagai negara mendapat sorotan masyarakat internasional jelang adopsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDG) 2030 di New York.
Artikel ini ditulis oleh: