Ma Ying-jeou Bersama Xi Jinping (Foto: Istimewa)

Singapura, Aktual.com – Hari ini, Sabtu (7/11) bisa jadi hari bersejarah bagi hubungan Tiongkok-Taiwan. Untuk pertama kali dalam 60 tahun terakhir pasca perang sipil di Tiongkok berakhir tahun 1949, Presiden Tiongkok bakal duduk bersama dengan Presiden Taiwan.

Pertemuan digelar di Singapura, antara Presiden Taiwan Ma Ying-jeou dan Presiden Tiongkok Xi Jinping, di tengah memanasnya sentimen anti Beijing di Taiwan.

Dimana tak lama lagi di Taiwan bakal digelar pemilihan presiden dan parlementer. Tempat Partai Progresif Demokratis (DPP) yang condong kepada kemerdekaan diperkirakan akan menang. Sebuah perkembangan yang sangat ingin dijauhi Beijing.

Persoalan yang dibahas dalam pertemuan ini pun tak kalah panas. Terkait lintas selat Taiwan, antara Tiongkok daratan dan Taiwan. Ma berharap Tiongkok kedepankan perdamaian dan bukan kekuatan dalam mengatasi persoalan tersebut. Sebab rakyat Taiwan sangat memperhatikan keamanan dan martabat kepulauan.

Ma seperti dibuat ketar-ketir dengan perhatian Xi Jinping akan pengerahan peluru kendali. Namun Ma bisa sedikit bernafas lega. Setelah mendapat jawaban Xi, pengerahan rudal tidak terkait dengan Taiwan.

Namun tidak ada yang bisa dipastikan, apakah pertemuan itu nanti bakal menghasilkan sebuah perjanjian yang signifikan atau tidak untuk perdamaian antar kedua wilayah.

Kepada awak media, secara diplomatis Ma hanya mengatakan keberadaannya adalah untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan sebelumnya. “Membuat selat Taiwan menjadi lebih damai, membuat kedua sisi lebih saling bekerja sama,” ujar Ma.

Dia mengaku tidak terlalu gugup, tapi juga tidak terlalu santai terkait pertemuan nanti. “Ini adalah sebuah tugas yang penting. Kami harus melakukan sebaik mungkin di setiap tahap,” ujar dia, sebelum terbang ke Singapura.

Diketahui, Partai Nasionalis (Kuomintang) mundur ke Taiwan setelah kalah dalam perang saudara melawan Partai Komunis, yang saat ini masih menguasai Beijing.

Hingga kini Tiongkok seperti tidak pernah melepaskan penggunaan kekuatan untuk mengembalikan apa yang mereka sebut dengan provinsi yang ingin lepas itu untuk kembali di bawah kendalinya.

Tetapi selama pertukaran bilateral, investasi dan pariwisata telah meningkat – terutama sejak Presiden Ma dan Partai Kuomintang berkuasa pada 2008 – terdapat kecurigaan di kedua belah pihak dan tidak ada peningkatan yang dilakukan mengenai penyelesaian politik.

Artikel ini ditulis oleh: