Alexander Solzhenitsyn (Aktual/Ist)
Alexander Solzhenitsyn (Aktual/Ist)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Tricita Revolusi Mental
Sejauh bisa ditangkap dari kampanye kepresidenan Jokowi-JK, visi-misi pemerintahan baru akan berusaha secara terencana, bertahap dan terstruktur mentransformasikan Indonesia menuju bangsa yang berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Untuk merealisasikan visi-misi “trisakti” tersebut, selain diperlukan dukungan sumberdaya material, keterampilan, dan manajemen, yang paling penting adalah kesiapan mental. Keduanya bahkan menyadari bahwa sandungan utama dalam mengemban visi-misi trisakti tersebut bersumber dari hambatan mental (mental block). Bahwa secara umum, manusia dan bangsa Indonesia mengalami kerentanan dalam mentalitas berdikari, berdaulat, dan berkepribadian, dengan berbagai implikasi destruktifnya bagi perkembangan bangsa.

Usaha revolusi mental harus menyasar aspek terpenting yang menentukan perilaku manusia, yakni karakter personal dan budaya (sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem perilaku sebagai pembentuk karakter kolektif). Sedemikian pentingnya dimensi budaya dalam menentukan transformasi bangsa, sehingga mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyatakan: “Budaya adalah penentu nasib suatu bangsa.”

Dalam proyek transformasi budaya, perlu diidentifikasi mentalitas inti sebagai penggerak utama (prime mover) bagi kelahiran mentalitas-mentalitas turunannya. Dalam merumuskan budaya perusahaan (corporate culture), terdapat kesepakatan umum, bahwa jumlah mentalitas inti yang menjadi pusat perhatian itu harus terbatas, sehingga mudah diingat dan terukur. Demikian pula halnya dalam merumuskan budaya kebangsaan-kenegaraan (civic-state culture). Kita harus merumuskan beberapa mentalitas inti bangsa ini yang harus diubah dan diperkuat dalam kerangka transformasi budaya bangsa.

Dengan mempertibangkan realitas hambatan mental yang ada serta idealitas nilai-nilai budaya keindonesiaan, gagasan revolusi mental Jokowi-JK bisa berfokus pada tiga mentalitas inti sebagai sasaran utama.  Ketiganya berkisar pada cita penguatan mentalitas-budaya kemandirian, mentalitas-budaya gotong-royong, dan mentalitas-budaya pelayanan. Untuk memudahkan pengingatan, Jokowi-JK bisa mengemas ketiga cita revolusi mental itu dengan mencanangkan suatu tanda perubahan, bernama “Tricita Revolusi Mental”.

Pentingnya mentalitas-budaya “kemandirian” berangkat dari asumsi bahwa secara kultural, sebab utama yang membuat manusia-bangsa Indonesia tidak berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan adalah karena manusia-bangsa Indonesia secara umum tidak bisa menghargai dirinya sendiri, kurang percaya diri, kurang aktualisasi diri, lemah pendirian, dan lemah kepribadian. Jika disederhanakan, manusia-bangsa Indonesia tidak memiliki mentalitas kemandirian.

Karena tidak memiliki mentalitas kemandirian,  perilaku manusia-bangsa Indonesia cenderung terperangkap dalam dua pilihan ekstrem: melakukan apa yang orang (bangsa) lain lakukan, yang mendorong mentalitas konformis; atau melakukan apa yang diinginkan orang (bangsa) lain, yang menyuburkan mentalitas pecundang dan totalitarian. Revolusi mental harus menumbuhkan mentalitas kemandirian yang membuat manusia-bangsa Indonesia dapat menghargai dirinya sendiri untuk mengembangkan potensi diri dan mengambil pilihan menurut pendiriannya dalam rangka mencapai yang terbaik.

Pentingnya mentalitas-budaya “gotong-royong” berangkat dari asumsi bahwa nilai penting kualitas dan kepercayaan diri hanya menemukakan kepenuhan maknanya dalam jaringan kerjasama dengan yang lain. Setiap huruf Alfabet, dari A sampai Z, merupakan satu karakter yang masing-masing sama pentingnya. Meski demikian, betapapun pentingnya keberadaan setiap karakter (huruf) itu, tidaklah bermakna apa-apa tanpa bersekutu dengan huruf-huruf lain dalam membentuk kata dan kalimat.

Dalam kemajemukan karakter masyarakat Indonesia, gotong royong adalah nilai fundamental bangsa ini. Menurut pandangan Bung Karno, gotong-royong adalah intisari Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama. Dalam pandangannya, “Gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’…gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan….Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!”

Revolusi mental harus merestorasi warisan budaya gotong-royong yang mulai pudar ini dengan mengembangkannya dalam pengertian yang lebih luas. Restorasi dan transformasi budaya gorong-royong bisa mencakup pengembangan budaya “silih asih, silih asah, dan silih asuh”;  berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; tolong-menolong dengan semangat koperasi; saling menghargai dalam perbedaan seraya aktif meningkatkan pemahaman dan titik-temu dalam perbedaan (active engagement); mampu menghargai dan mengapresiasi karya dan prestasi orang lain; serta mampu menjalin sinergi antarpotensi, antaragensi, antarsektor, antarwilayah.

Pentingnya mentalitas-budaya “pelayanan” berangkat dari asumsi bahwa pemupukan kemandirian dan penguatan welas asih kegotongroyongan itu harus bermuara pada pelayanan.   Bunda Teresa mengatakan, “Buah dari kecintaan adalah pelayanan”. Dalam realitas hidup bangsa Indonesia, apapun yang dikerjakan Tuhan sebagai pelayanan kepada bangsa ini serba elok, fantastis, subur, dan makmur. Tetapi, apapun yang dikerjakan manusia sebagai pelayanan kepada nusa-bangsanya serba amburadul, asal-asalan, mandul, dan miskin.

Dalam realitas politik hari ini, praktik gotong-royong masih berjalan, namun dalam konotasi toleransi negatif, “tolong-menolong dalam kejahatan dan pengrusakan”.  Gerakan revolusi mental harus menempatkan gotong-royong itu dalam konteks toleransi positif, “tolong-menolong dalam kebaikan dan pembangunan”.  Semangat toleransi yang memadukan kemandirian dan kerjasama dalam menunaikan pelayanan publik dan kemanusiaan dengan penuh tanggung jawab dan bermutu untuk kebaikan dan kemuliaan hidup bersama.

Perubahan pada ketiga mentalitas-budaya inti tersebut bisa menurunkan mentalitas-mentalitas ikutan. Kreativitas dan inovasi, misalnya, akan lahir kalau tersedia ekosistem kreativitas yang merupakan perpaduan dari ketiga unsur tadi. Dalam pandangan Richard Florida (2002), kreativitas = f (talenta+toleransi+teknologi).   Dengan kata lain, kreativitas merupakan fungsi dari pemupukan talenta (unsur kemandirian), yang dikukung oleh adanya ruang toleransi untuk saling mengapresiasi (unsur gotong-royong) dan tersedianya sarana teknologis (peralatan teknis, perangkat informasi, organisasi, fasilitator) yang merupakan unsur pelayanan.

Tricita revolusi mental itu harus menjadi landasan ideologi kerja bagi penyusunan platform dengan segala turunan program dan kebijakannya di semua lini dan sektor pemerintahan. Keberadaan ideologi kerja memberikan framework (panduan dan haluan) yang memudahkan perumusan prioritas pembangunan, pencanangan program kerja, serta pilihan kebijakan yang diperlukan.

Dalam implementasinya, gerakan revolusi mental ini tidak boleh dilakukan dengan pendekatan vertikal: negara yang ambil inisiatif, negara yang menafsir, negara yang melakukan. Cara terbaik mestinya dilakukan dengan pendekatan horisontal dalam bingkai semangat gorong-royong yang melibatkan partisipasi berbagai agen sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media, pekerja budaya, dunia pendidikan dan dunia usaha.

Dengan prioritas dan pendekatan seperti itu, gerakan revolusi mental secara sinergis dan simultan bisa membawa perubahan mendasar pada struktur mental dan keyakinan bangsa. Dengan perubahan mendasar itu, suatu pemutusan dengan mentalitas-budaya dan tantanan dekaden bisa dilakukan  sehingga bisa menciptakan suasana kejiwaan yang lebih siap berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Betapapun hal itu merupakan proyek raksasa yang maha berat,  tetapi kita tak boleh kehilangan optimisme. Dengan semangat kebersamaan dalam perbedaan, kekuatan cinta mengatasi putus asa. Seperti dingatkan kembali oleh Bung Karno: “Dan kita harus sabar, tak boleh bosan, ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita. Kita harus jantan! Jangan putus asa, jangan kurang tabah, jangan kurang rajin. Ingat, memproklamasikan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya itu sukar. Hanya rakyat yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang saya sebutkan tadi—rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat yang jantan—hanya rakyat yang demikianlah dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan nafas, dan berani terjun menyelami samudera yang sedalam-dalamnya.”

(Selesai)