Maksud hati mau menambah perolehan keuangan negara, bisa-bisa daulat ekonomi kita dalam bahaya di masa depan. Lagi-lagi menyoal rencana revisi soal PP No 41 tahun 1996 tentang Hak Pakai Properti oleh Warga Negara Asing(WNA). Sisi paling rawan dari gagasan terkait revisi itu adalah, berkaitan dengan kepemilikan apartemen bagi WNA.
Jakarta, Aktual.com — Sepertinya, gagasan yang sempat terlontar dari mantan Menko Perekonomian Sofyan Djalil itu, sarat dengan pertimbangan untuk meningkatkan penerimaan keuangan negara melalui pajak. Sehingga melalui berbagai wacana yang muncul, terkesan hendak diarahkan agar orang asing boleh membeli apartemen di Indonesia, namun dengan harga yang mahal alias membeli apartemen mewah.
Dan sepertinya, pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sudah menetapkan aturan mengenai batasan apartemen mewah yang akan diberlakukan atas dasar nilainya atau harga jualnya.
Kementerian Keuangan mewajibkan penjual enam barang sangat mewah harus memungut pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% dari harga barang ke setiap pembeli. Khusus untuk apartemen, yang tergolong sangat mewah adalah jika apartemen tersebut memiliki harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi. Kepemilikan tersebut dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, sehingga bisnis properti tidak melesu.
Jelaslah sudah, bahwa motivasinya sangat berorientasi ekonomi. Bahkan hal itu didukung oleh perangkat hukum melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor:90/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas PMK Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang tergolong sangat mewah.
Bukan itu saja. Bahkan Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro pun secara gamblang mendukung gagasan tersebut, mengatakan akan mengizinkan warga negara asing untuk memiliki apartemen mewah. Rencana ini sangat baik untuk mendukung sektor properti.
Masalahnya, haruskah kita hanya karena butuh dana segar sehingga secara sadar pemerintah kita membuka pintu masuk bagi asing untuk menguasai sektor properti di Indonesia. Padahal saat ini warga negara asing tidak diperbolehkan membeli properti di Indonesia, meskipun banyak yang melakukannya dengan menggunakan nama warga lokal.
Betapa tidak. Jika benar nantinya pemerintah membuka kesempatan kepemilikan properti dalam negeri kepada pihak asing, bisa dipastikan dalam lima tahun ke depan sektor properti Indonesia berada dalam bahaya.
Dengan batasan harga Rp 5 milyar orang asing akan banyak masuk ke Indonesia. Batasan tersebut dinilai terlalu rendah dan membuat pasar di segmen tersebut menjadi semakin naik tidak terkendali. Karena bagi orang-orang asing dengan kemampuan keuangan kelas eksekutif sebuah korporasi besar seperti ExxonMobil, Chevron, Freeport McMoran, atau Conoco Philips, rasa-rasanya uang sebesar Rp 5 miliar sama sekali tidak memberatkan. Sehingga membeli apartemen harga segitu, buat kalangan asing dari kelas korporasi ini, bukan perkara yang memberatkan.
Begitupun, dari segi prospek ekonominya pun belum tentu menguntungkan ke depan. Beberapa analisis yang dilakukan kalangan pakar ekonomi, tak ada jaminan bahwa harga tidak bakal naik. Sebab standar harganya pun bukan standar pasar lokal melainkan standar regional yang membuat patokan harga tersebut sangat kecil.
Belajar dari pengalaman Tiongkok, Malaysia, Vietnam, dan Singapura, ternyata di sektor properti bubble sehingga harga pasaran apartemen pada perkembanganya jatuh ke level 20%. Apakah skenario terburuk macam ini sudah masuk dalam prediksi dan perhitungan para perancang perekonomian pemerintahan Jokowi-JK?
Mengapa pemerintahan Jokowi-JK tidak lebih baik fokus saja membangun perumahan rakyat khususnya bagi kalangan kelas menengah ke bawah? Karena fokus pada pemberian izin pembelian apartemen mewah kepada WNA, sangat besar resikonya, mengingat kenyataan bahwa kita tak punya batasan dan instrument yang bisa menjamin harga tanah tidak akan naik. Singkatnya, pemberlakuan kepemilikan asing di Indonesia dinilai belum siap.
Kepemilikan apartemen mewah oleh warga asing rencananya akan diatur melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1996 tentang Hak Pakai Properti oleh Warga Negara Asing (WNA).
Rencananya kategori properti yang terkena PPnBM adalah dari harga minimal sebesar Rp 5 miliar dengan tarif PPnBM 10%, harga Rp 7,5 miliar sebesar 15% dan harga di atas Rp10 miliar sebesar 20%. Kategori tersebut akan ditentukan setelah dikeluarkannya aturan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) oleh pemerintah. Bagi kita-kita yang termasuk kalangan yang menentang kebijakan ini, kebijakan semacam ini sangat liberal dan pro asing.
Dasar dari penguasaan tanah oleh WNA dan Badan Hukum Asing (BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka WNA yang berkedudukan di Indonesia atau BHA yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi hak pakai.
Dengan demikian tidak dibenarkan WNA atau BHA memiliki tanah dan bangunan dengan status hak milik. Warga negara asing dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri, atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Hak pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Nah, apakah Revisi PP No 41/1996 tersebut memang dimaksudkan untuk menabrak UU Pokok Agraria tahun 1960? Kalau melihat gelagatnya sih sepertinya memang bermaksud seperti itu.
Selain itu, ada aspek rawan dari segi keamanan nasional. Sebab yang namanya penggunaan perumahan, apartemen, ataupun lahan oleh WNA, berpotensi untuk digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilegal yang bisa menimbulkan ancaman nasional, seperti kejahatan lintas negara. Seperti perjudian, prostitusi, gudang barang terlarang/illegal, pabrik Narkoba, “save house” bahkan sebagai tempat untuk melakukan spionase oleh komunitas-komunitas intelejen asing.
Maka itu, kiranya perlu adanya sistem pengawasan juga laporan berkala dari WNA selama penggunaan properti atau lahan tersebut yang sudah berlangsung selama ini.
Selain itu, perlu pula diingatkan bahwa produk hukum dan perundang-undangan harus didasarkan pada
Pasal 2 dalam UUPA Tahun 1960 yang menyebutkan bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Perlu ditegaskan bahwa kepemilikian yang dimaksud bukan kepemilikan mutlak oleh WNA bila suatu waktu kepemilikan apartemen oleh WNA menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang merusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga secara sepihak pemerintah Indonesia harus mampu menguasi kembali dengan pergantian sejenis kompensasi.
Apalagi dalam skema Trans Pacific Partnership maupun Masyarakat Ekonomi ASEAN, daulat hukum nasional kita berpotensi untuk tunduk pada aturan hukum internasional yang dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan korporasi global. Maka itu, tepat kiranya untuk memperhitungkan posisi Indonesia dalam aturan hukum internasional jika ke depan Indonesia menghadapi sengketa atas kepemilikan apartemen tersebut. Harus dipikirkan mekanisme pengaman sehingga Indonesia tidak akan kehilangan kedaulatannya di tangan asing jika pihak asing yang memiliki apartemen melakukan gugatan hukum.
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit