Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar menilai Birokrasi berbelit telah menciptakan sejumlah urusan administrasi menjadi rumit. Hal ini, tentu saja membuat masyarakat menjadi malas ketika berurusan dengan peyanan negara.

Bahrullah mengatakan, maka diperlukan pemimpin yang paham ilmu pemerintahan untuk menyelesaikan hal tersebut.

“Dengan begitu, banyak muncul pemimpin yang bisa mencurahkan pemikiran di bidang ini,” ujar dia, di seminar nasional ‘Asosiasi Program Studi Ilmu Pemerintahan Indonesia (APSIPI) dan Call for Papers 2016’, di Universitas Mulawarman Samarinda, Kamis (24/11).

Ia mengatakan, antara inovasi dan regulasi harusnya jangan diperdebatkan. Regulasi pastinya telah melalui kajian akademis.

“Jangan dicampur aduk. Kalau bermasalah hukum karena penerbitan izin, lain hal,” kata dia.

Hal ini sama dengan diskresi yang menjerat pejabat daerah. dimana mesti dipahami, bahwa diskresi mesti tetap dicatat, dikelola, dan dipertanggungjawabkan. Bila begitu, dia meyakinkan pasti tak bermasalah.

“Yang kacau itu, diskresi kebanyakan diam-diam,” imbuhnya.

Ia mengatakan, dalam pemberian opini penilaian laporan hasil pemeriksaan keuangan, BPK selalu berpegang teguh terhadap standar akuntansi, tidak ada jual-beli wajar tanpa pengecualian (WTP).

“Itu (Jual Beli WTP) mengerikan dan berbahaya,” kata dia.

WTP merupakan standar pelaporan akuntansi yang mesti dipenuhi pemda. Dengan akuntansi berbasis akrual, BPK meyakini sistem itu menjauhkan dari pola tindakan koruptif.

“Langkah BPK mendorong WTP secara perlahan akan diterapkan dengan e-gov. Jadi, tidak ada yang main-main,” tegasnya.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antarikomisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Santoso mengatakan, penerapan e-gov saat ini sudah mendesak.

“Biar syarat pengurusan, durasi dan biaya pelayanan jelas. Semua jadi terkontrol,” paparnya.

Penerapan teknologi juga bisa diterapkan ketika antarpemerintah daerah berkomunikasi. Tak perlu lagi repot mengumpulkan. Itu bisa dilakukan video teleconference. Secara otomatis, jika itu diimplementasikan biaya operasional pemerintah akan hemat. “Dalam mengambil keputusan cepat. Koordinasi antargubernur tidak menghabiskan biaya begitu mahal,” kata Budi.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby