Jakarta, Aktual.co —Di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) saat ini, setidaknya ada dua proyek mercusuar terkait pembangunan pelabuhan, yang dalam jangka panjang punya nilai strategis bagi negara yang memprakarsai rencana tersebut.
Kelak jika beroperasi Kra Thailand/Terusan Kra dan Pelabuhan Sabang, secara geopolitik akan mematikan Singapura sebab “kehidupan”-nya bergantung Selat Malaka. Oleh karena melalui Terusan Kra dan Sabang selain memangkas jarak 612 mil dari Laut Cina Selatan menuju Lautan Hindia, juga menghindari kemacetan dan “pajak” di Selat Malaka.
Bung Karno, seperti biasa dengan gagasan masa depannya yang visioner, Melalui Perpres No 22/1964 dan UU No 10/1965, ia canangkan Sabang sebagai pelabuhan bebas (freeport) selama kurun waktu 30 tahun. Sayangnya, pada 1967 terpaksa harus tergusur dari tampuk kekuasaan. Namun Presiden Suharto, meski dengan pertimbangannya yang berbeda, memandang juga memandang Sabang punya nilai strategis secara geopolitik. Namun lagi-lagi rencana pembangunan pelabuhan Sabang kembali tertunda gara-gara semakin rawannya situasi keamanan di Aceh menyusul menajamnya konflik TNI dengan kelompok separatis GAM(Gerakan Aceh Merdeka) yang ingin memisahkan diri dari NKRI, sehingga tidak kondusif untuk pembangunan sosial-ekonomi di Aceh. Apalagi membangun Sabang yang tentunya punya dampak geopolitik yang mematikan bagi Singapura, Australia, Inggris dan Amerika Serikat.
Padahal, baik Bung Karno maupun Pak Harto, yang sama-sama disegani oleh para pemimpin negara-negara ASEAN, memandang rencana pembangunan Pelabuhan Sabang sebagai kontra skema menguatnya pengaruh Singapura di Selat Malaka. Di era pemerintahan BJ Habibie, yang menandai era transisi pasca Presiden Suharto, bahkan punya rencana strategis yang lebih spektakuler lagi.
Bayangkan. Ia memiliki “mimpi” hendak membangun Sabang, Batam dan Bintan demi mengalahkan Singapura. Bisa dipastikan Lee Kuan Yew bakal tak bisa tidur nyenyak. Era Gus Dur lain lagi. Meski sudah diterbitkan UU No 37/2000 guna menghidupkan kembali Sabang menjadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas, tetapi dalam praktek “kembang kempis,” hidup segan mati tak mau. Maksudnya, selain deraan konflik vertikal Aceh tak jua usai, segenap elit pun dibuat gaduh sendiri dengan “paket mainan” ala DHL (demokrasi, HAM, lingkungan) oleh asing.
Para elit politik dan pemutus kebijakan di negeri ini asyik berhura-hura (politik), menari dalam tarian gendang yang ditabuh (geostrategi) asing. Mereka gagal mengingat atas proyek strategis bangsa. Betapa cantik permainan deception ataupun pengalihan situasi. Padahal secara Perpres sudah jelas, UU-nya pun nyata, dll. Dan gilirannya, untuk ke sekian kali pada kepemimpinan nasional, lagi-lagi proyek Sabang pun terlantar. Nyaris tak terdengar. Hingga sekarang, sampai kini.
Melalui sekelumit cerita tadi, jelaslah sudah betapa pentingnya kita mewaspadai berbagai jenis konflik yang timbul di daerah yang sedang dibangun sebuah proyek raksasa yang tidak sekadar mega-proyek dari segi ekonomi, melainkan berdampak strategis secara geopolitik.
Dalam kasus pembangunan proyek pelabuhan Sabang yang selalu tertunda, atau sengaja dibatalkan oleh para petinggi pemerintahan Indonesia hingga kini, seharusnya disadari oleh para stakeholders kebijakan strategis luar negeri maupun politik-keamanan, betapa beroperasinya Sabang kelak adalah bagian kontra strategi —agar kita tidak cuma menonton — mengantisipasi bangkitnya arus barang dan jasa dari Kanal Isthmus menuju Lautan Hindia dan sekitarnya. Tak bisa tidak, pemerintah harus sesegera mungkin melangkah rencana tersebut.
Memasuki abad-21, ihwal pembangunan pelabuhan di suatu negara, apakah itu Sabang atau terusan Kra di Thailand, agaknya memang bisa selaras dengan agenda strategis Cina untuk menguasai wilayah geopolitik berbagai negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Rencana pembangunan terusan Kra di Thailand, merupakan salah satu contoh.
Pada 1677, Raja Thai Narai, punya gagasan visioner yang menurut ukuran sekarang mungkin rada gila. Rencana menyatukan dua jalur internasional antara Laut Cina Selatan dan Lautan Hindia melalui sebuah kanal (terusan) yang membelah daratan, mampu menembus ruang dan waktu. Agaknya, ide Raja Narai memberi inspirasi bagi para petinggi pemerintahan Thailand di penghujung abad-20. Yaitu dengan membangun Terusan Thai, atau Terusan Kra, atau istilah lain Kra Thailand, dll dimana memotong daratan tersempit Semenanjung Malaka, di Thailand Selatan.
Nampaknya rencana strategis Thailand tersebut dibaca oleh Cina, yang kemudian menyelaraskannya diri dengan rencana tersebut. Maklum, Cina punya doktrin bernama String of Pearl yang bertujuan untuk membangun pengaruh dan kekuasaan di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, untuk mengimbangi dominasi AS di Asia Pasifik.
Jika merujuk laporan (2005) Sekretaris Pertahanan AS Donald Rumsfeld yang bocor ke Washington Times, bahwa Cina telah menyiapkan sebesar USD 20 miliar untuk membiayai terusan melalui Tanah Genting Kra lengkap dengan fasilitas pelabuhan. Kenapa hal ini dilangkahkan oleh Cina, karena urgensi kanal tersebut terkait dengan atau bagian dari implementasi “String of Pearl”, strategi handal negeri Tirai Bambu di perairan dalam rangka mengamankan energy security-nya.
Sekadar informasi, badan hukum yang dipercaya untuk membangun Terusan Kra atau yang sering juga disebut Terusan Isthmus adalah perusahaan plat merah Cina yaitu Liu Gong Machinery Co. Ltd dan XCMG, serta perusahaan swasta Sany Heavy Industry Co. Ldd.
Dari laporan ini, jelaslah bahwa rencana pembangunan pelabuhan atau terusan yang berdampak geopolitik bagi suatu negara, pada perkembangannya akan menjadi ajang konflik global antara negara-negara adidaya seperti AS dan Cina.
Seperti sudah saya singgung secara singkat di awal tulisan, Berbasis hitungan fisik, terusan ini bakal memangkas 612 mil antara Laut Cina Selatan – Lautan Hindia daripada jalur sebelumnya via Selat Malaka. Sila tebak, bagaimana nasib ekonomi Singapura apabila kanal tersebut beroperasi?
Ketika jantung Paman Lee ada di Selat Malaka mulai perlahan melemah, maka (nafas) hidupnya pasti tersengal-sengal. Kemungkinan dinamika ekonomi Negeri Singa menurun drastis bahkan cenderung bangkrut, sebab 50% pelayaran internasional sedikit demi sedikit cenderung beralih ke Terusan Kra daripada melalui Selat Malaka, karena alasan singkatnya jalur pelayaran.
Rencana strategis Thailand membangun kanal pasti didukung penuh oleh Jepang, Brasil, India, dll selain Cina yang sudah siap. Oleh karena keberadaan kanal tersebut, jelas menguntungkan mereka dalam segala hal terutama waktu dan jarak tempuh. Tak boleh dielak, beberapa negara tadi memang pengguna (pelanggan) setia jalur Selat Malaka untuk berbagai kepentingan, terutama rute suplai minyaknya.
Itulah geopolitical leverage Kra Thailand. Tak bisa tidak. Sebuah implementasi atas geostrategi negara bangsa dalam rangka pemanfaatan dan pemberdayaan ekonomi berbasis keunggulan-keunggulan geografi. Ia merupakan daya lenting, selain untuk kepentingan pertahanan (militer) juga utamanya mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengembangan sektor-sektor lainnya.
Pembangunan Pelabuhan Sabang
Kembali ke gagasan visioner Bung Karno, Peraturan Presiden (perpres) No 22/1964 serta Undang-Undang (UU) No 10/1965 yang menetapkan Sabang sebagai free port (pelabuhan bebas) untuk kurun waktu 30 tahun berikut, sudah selayaknya dipertimbangkan kembali oleh Jokowi untuk dibangun secara sungguh-sungguh dan terencana.
Berdirinya free port lain (Sabang misalnya) di sekitar Selat Malaka, minimal akan mengurangi singgahan kapal-kapal ke pelabuhan Singapura. Sekali lagi, inilah mimpi buruk Negeri Singa. Seandainya sejak dulu para elit politik di negeri ini secara konsisten menjalankan amanat perpres dimaksud, kemungkinan mimpi tadi akan menjadi momok sepanjang massa bagi Negeri Paman Lee.
Jika Kra Thailand dan free port Sabang beroperasi kelak, maka dinamika Selat Malaka serta pelabuhan-pelabuhan Singapura cenderung menurun bahkan sepi, terutama lalu-lalang pelayaran antara Laut Cina – Lautan Hindia, dan sebaliknya. Cina misalnya, rute suplai minyak dari Timur Tengah, Afrika, dll tidak lagi melintasi Selat Malaka. Ia bisa langsung memotong melalui Terusan Kra. Demikian juga India, Jepang, dan Timur Tengah.
Pada tataran inilah kita harus mewaspadai setiap langkah Singapura untuk menggagalkan rencana strategis ini. Artinya, tatkala berkembang rencana, fenomena, atau aktivitas pembangunan dll di sekitar selat tersebut, terutama jika kegiatan dilakukan para negeri tetangga yang berpotensi memunculkan “kompetitor” atau pesaing bagi Selat Malaka, maka dipastikan ia akan berusaha “memadamkan”, menghambat, bahkan kalau perlu menggagalkan rencana dengan segala cara.
Singapure memang punya pertaruhan hidup-mati di Selat Malaka, karena dengan itu pula perekonomian Indonesia amat tergantung pada Singapore. Udang Indonesia misalnya, sebelum diekspor ke berbagai negara harus “ngantong” dulu di Singapura. Belum jenis komoditi lain. Minyak jangan ditanya, justru judulnya sungguh ironis: “Indonesia impor minyak dari Singapura” hanya karena ketiadaan refenery (kilang minyak) di republik tercinta ini.
Bahkan ketergantungan minyak dari luar sempat dijadikan sarana “menakut-nakuti” bangsa ini oleh Wakil Menteri (Wamen) ESDM di era pemerintahan SBY, ketika panas-panasnya hubungan Indonesia–Singapura akibat penamaan Usman Harun pada kapal angkatan laut TNI AL.
Data Kementerian Pertahanan RI menyebut, sejak tahun 1999-2008 kapal-kapal yang melewati Selat Malaka meningkat 74%. Dan tahun 2020 diprakiraan mencapai 114.000 kapal. Alangkah sibuknya. Menurut Goldman Sachs, kelompok negara yang bakal menguasai perekonomian tahun 2050 kelak ialah Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC), terutama sekali Cina dan India yang paling aktif melintasi Selat Malaka.
Sialnya, Jokowi bukannya merujuk pada model BRICS dalam membangun Kerjasama Maritim Internasional, tapi malah tergelincir dalam hubungan bilateral RI-Cina sehingga rawan masuk perangkap skema String of Pearl negara tirai bambu tersebut.
Sementara dengan Singapura, hubungan kedua negara hingga kini masih diwarnai aroma kejahatan ekonomi. di Singapura kini tersimpan Rp 400 triliun uang Indonesia yang “diparkir”. Entah uang apa serta dari mana, informasi belum terkuak jelas. Konon jumlah tersebut kian bertambah beberapa kali lipat sejak pemilu 2009 lalu. Adanya bocoran bahwa uang tadi dalam kendali para konglomerat Cina yang berbasis di Singapura, serta akan dikembalikan lagi ke Indonesia apabila presiden mendatang selaras dengan keinginan mereka.
Belum lagi fakta bahwa Singapura sampai kini menolak perjanjian ekstradisi dengan Indonesia dalam hal kerjasama antisipasi kejahatan. Sudah menjadi rahasia umum, ia dianggap safe house, tempat yang nyaman untuk pelaku tindak pidana terutama kaum koruptor, atau pengemplang duit rakyat Indonesia.
Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual