Pekerja memilih ikan saat proses pengasinan di industri pengolahan ikan Jongor, Tegal, Jawa Tengah, Rabu (14/12). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi olahan pada 2017 sebanyak 6,2 juta ton naik pada 2015 sebanyak 5,5 juta ton dengan rencana pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Penerimaan negara baik dari pajak atau bukan pajak (PNBP) di sektor kelautan relatif rendah. Padahal dengan luas Indonesia yang mayoritas lautan potensinya bisa lebih banyak lagi.

Hal ini terjadi karena masih adanya indikasi tak jujur dari pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan ini. Salah satunya dengan melakukan praktik mark down atau melaporkan hasil yang lebih sedikit dibanding yang semestinya.

“Makanya, para pengusaha harus menjalankan usahanya sesuai dengan prosedur yang berlaku. Seperti mendaftarkan ukuran kapal yang mereka miliki dengan yang sebenarnya. Kalau kapalnya benar, reporting benar, perusahaan akan baik-baik saja,” jelas Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (14/3).

Untuk itu, kata dia, agar kesalahan data, masing-masing pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha harus melakukan evaluasi. “Ini adalah pekerjaan rumah bersama-sama, kami evaluasi tapi tolong Anda juga evaluasi, saya akan melakukan tugas saya. Yang jelas pemerintah tak akan mematikan usaha Anda (sektor perikanan dan kelautan),” tutur dia.

Pemerintah berkepentingan untuk menciptakan usaha di sektor ini agar tetap sehat dan bisa berkontribusi kepada perpajakan atau PNBP-nya.

“Karena kalau mati (sektor perikanan-kelautan), kita tidak dapat pajaknya. Makanya saya ingin usaha perikanan tiga sampai empat kali lebih maju. Goblok saja, kalau pemerintah mematikan usaha ini,” ungkapnya.

Di tempat sama, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan, selama masih banyak pelaku usaha sektor perikanan dan kelautan yang menghindari kewajiban membayar pajak.

Modusnya, kata dia, dengan melaporkan lebih sedikit jumlah dan harga kapal yang dimilikinya, melaporkan hasil tangkapan ikan yang tidak sesuai, serta tidak melaporkan jenis kegiatan usaha.

“Dari temuan KKP dan Satgas 115 masih banyak ada praktik mark down, ini modus tindak pidana dan penghindaran pajak,” cetus Susi.

Mark down sendiri, disebutnya, banyak dilakukan untuk tujuan menghindari kewajiban PNBP, memperoleh BBM subsidi, serta melaporkam hasil tangkapan lebih kecil dari yang sebenarnya.

“Akibatnya penerimaan pajak itu jadi kecil, berbeda ketika sudah kita ukur ulang,” kata Susi.

Data PNBP menyebutkan sepanjang April 2016 hingga Maret 2017 negara telah menerima Rp122 miliar atas penerbitan 3.008 izin kapal ikan yang sebelumnya telah melakukan mark down.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh: