Jakarta, Aktual.com– Banyak diantara kita yang sering mendengar seorang pendakwah atau ustad menyebutkan bahwa sebuah hadits memiliki derajat shahih, hasan atau dho’if. Lalu, apakah kita sudah mengenal apa itu hadits shahih, hasan atau dho’if tersebut? Jika belum, mari kita berbicara tentang derajat-derajat hadits.
Dikutip dalam kitab Qowaid al-asasiyah fii ‘ilmi mushtolah al-hadits karangan al-‘alamah al-muhaddits Sayyid Muhammad bin ‘alawi al-maliki. Beliau menyebutkan bahwa definisi dari hadits Shahih itu adalah
الحديث اشتمل على أعلى صفات القبول
“Hadits-hadits yang mencakup atas tingginya sifat penerimaan.”
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa hadits Shahih itu derajat paling tinggi Kemudian, beliau melanjutkan dalam pembahasan kitabnya yaitu syarat-syarat hadits tersebut menjadi Shahih:
Pertama, Tersambungnya sanad
Maksud dari tersambungnya sanad disini adalah ketika seluruh Perawi’ (Periwayat) hadits mendengar hadits tersebut dari seseorang diatasnya atau gurunya. Misalnya
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ يَزِيدَ، عَنْ أَبِي الخَيْرِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Umar bin Khalid telah menceritakan hadits padaku (imam Bukhari), ia berkata : Al-Laits menceritakan hadits padaku (Umar bin Khalid), dari Yazid, dari Abu Al-Khair, dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa seorang lelaki bertanya pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Manakah islam yang paling baik?”
Beliau menjawab : “Memberikan makanan, dan membaca salam pada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.” (HR. Bukhari)
Dari contoh diatas bisa dilihat bahwa Imam Bukhari mendengar hadits dari Umar bin Khalid, Umar bin Khalid mendengar hadits dari Yazid, Yazid dari Abu al-Khair, Abu al-Khair dari Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Umar dari Rasulullah Saw. Bisa disimpulkan bahwa hadits tersebut memiliki sanad yang jelas.
Kedua, Adilnya Para Perawi
Selanjutnya, Para Perawi ini merupakan sosok yang adil. Adil dalam pembahasan ilmu Hadits memiliki perbedaan dengan Adil yang kita pahami. Menurut Sayyid Muhammad al-Maliki, adil adalah seorang muslim yang berakal, terbebas dari kefasikan dan sifat-sifat tercela.
Untuk mengetahui bahwa seorang perawi ini merupakan sosok yang adil atau tidak, dibutuhkan penjelasan seorang ulama yang terpercaya untuk menilainya. Di dalam ilmu hadits terdapat ilmu yang berkaitan dengan penilaian keadilan seorang rawi yaitu Jarh wa ta’dil.
Ketiga, Sempurnya ke-Dhabithan
Dhabith disini diartikan bahwa seorang perawi harus mampu menghadirkan hafalan haditsnya atau hadits yang ia dengar dari gurunya kapan saja ia mau tanpa ada kesalahan.
Terdapat dua macam dhabith, Dhabith secara hafalan dan secara kitab (karangan). Dhabith secara hafalan yaitu jika ia diminta untuk menyebutkan hadits yang telah ia dengar dari gurunya, ia mampu menyebutkannya tanpa ada kesalahan.
Sedangkan Dhabith secara kitab (karangan), ia mencatat hadits-hadits yang ia dengar dari gurunya dan hadits tersebut telah masuk kategori Shahih.
Keempat, Terbebasnya dari Syadz
Syadz adalah ketika seorang perawi hadits yang tsiqah (terpercaya) bertentang dengan ulama yang lebih tsiqah darinya atau bertentangan dengan seluruh ulama-ulama lainnya.
Dari definisi syadz diatas dapat diketahui bahwa seorang perawi tidak boleh bertentangan dengan ulama-ulama lainnya dalam meriwayatkan hadits.
Kelima, Terbebas dari ‘Illat
Syarat terakhir sebuah hadits dapat dikategorikan sebagai hadits Shahih adalah terbebasnya dari ‘Illat. ‘Illat sendiri menurut sifat-sifat buruk yang menciderai keshahihan sebuah hadits.
Cacat yang tersembunyi ini bisa terjadi pada sanad dan matan. Para ulama sendiri telah membuat cabang ilmu khusus pada pembahasan ‘Illat ini, sehingga mereka mengarang beberapa kitab-kitab hadits yang menerangkan tentang ‘Illat salah satunya adalah kitab ‘Illal Imam Ahmad.
Seperti itulah syarat-syarat sebuah hadits dapat dikatakan Shahih. Semoga Allah SWT memberikan taufik dan rahmat-Nya agar kita mampu mempelajari ilmu-ilmu warisan Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam.
(Rizky Zulkarnain)
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra