Jakarta, Aktual.com – Bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro, didakwa memberikan uang sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution.

“Terdakwa Eddy Sindoro bersama Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Doddy Aryanto Supeno memberi uang sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS kepada Edy Nasution selaku panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ni Nengah Gina Saraswati di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (27/12).

Tujuan pemberian uang itu adalah agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan “aanmaning” (pemanggilan pihak tereksekusi melaksanakan hasil putusan perkara secara sukarela) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang.

Eddy Sindoro adalah bekas Presiden Komisaris Lippo Group yang membawahi beberapa anak perusahaan di antaranya PT Jakarta Baru Cosmoplitan (JBC), Paramount Enterprise Internasional, PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan PT Across Asia Limited (AAL).

Pemberian uang itu diberikan dalam dua tahap yaitu pertama, pemberian uang terkait penundaan aanmaning antara PT MTP melawan PT Kwang Yang Motor Co.Ltd (KYMCO).

Berdasarkan putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) pada 1 Juli 2013, PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT KYMCO sebesar 11,1 juta dolar AS terhadap putusan SIAC tersebut PT MTP belum melaksanakan kewajibannya, sehingga PT KYMCO pada 24 Desember 2013 mendaftarkan putusan tersebut di PN Jakpus agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia.

Atas pendaftaran itu, PN Jakpus menyatakan bahwa putusan SIAC dapat dilakukan eksekusi di Indonesia. PN Jakpus lalu melakukan Aanmaning kepada PT MTP melalui PN Tangerang.

“Mengetahui panggilan aanmaning tersebut, terdakwa memerintahkan Wresti Kristian Hesti Susetyowati untuk mengupakan penundaan aanmaning,” tambah jaksa Abdul Basir.

Wresti Kristian Hesti Susetyowati adalah bagian legal PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan bagian dari Lippo Group. Pada 14 Desember 2015 Wresti lalu menemui Edy Nasution di kantor PN Jakarta Pusat.

Edy Nasution menyetujui penundaan itu sampai Januari 2016 dengan imbalan Rp100 juta.

“Selanjutnya Wresti melaporkan kepada terdakwa bahwa proses aanmaning dapat ditunda sampai Januari 2016 dan untuk itu Edy Nasution meminta imbalan uang sebesar Rp100 juta. Kemudian Wresti meminta persetujuan terdakwa bahwa uang Rp100 juta akan diminta dari Hery Soegiarto (Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana) dan terdakwa menyetujuinya,” tambah jaksa Basir.

Selanjutnya pada 17 Desember 2015 Presiden Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) Rudi Nanggulangi memberikan cek Rp100 juta kepada Hery Soegiarto. Uang itu diambil Wawan Sulistiawan untuk diberikan kepada pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Aryanto Supeno untuk diserahkan kepada Edy Nasution.

Setelah menerima uang dari Wawan, Dody pada 18 Desember 2016 bertemu dengan Edy Nasution di ‘Basement’ hotel Acacia Senen dan Doddy menyerahkan uang Rp100 juta itu kepada Edy Nasution.

Pemberian kedua terkait Peninjauan Kembali (PK) perkara Niaga oleh PT Across Asia Limited (AAL).

Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 pada 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit sampai dengan batas waktu 180 hari PT AAL tidak mengajukan upaya hukum PK.

Namun, untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang berperkara di Hong Kong, Eddy Sindoro pada 15 Februari 2016 memerintahkan Wresti Kristian Hesti Susetyowati untuk mengupayakan PK dan mengecek ke PN Jakpus.

Wresti lalu menemui Edy Nasution pad 16 Februari 2016 dan meminta Edy Nasution menerima menerima pendaftaran PK PT AAL meskipun waktu pendaftarannya sudah lewat. Awalnya Edy menolak, namun Wresti menawarkan sejumlah uang sehingga Edy meminta uang sejumlah Rp500 juta.

“Permintaan uang tersebut selanjutnya dilaporkan kepada terdakwa dan terdakwa menyetujuinya. terdakwa juga memerintahkan Wresti Kristian Hesti menunggu perintah selanjutnya dari Markus Parmadi selaku perwakilan PT AAL,” ungkap jaksa Basir.

PT AAL lalu menunjuk kantor pengacara Cakra & Co sebagai kuasa hukum baru menggantikan Law Firm Marx & Co. Law Firm Cakra & Co merupakan kantor hukum yang telah beberapa kali menangani perkara terkait dengan perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Eddy Sindoro.

Dian Anugerah Abunaim dan Agustriady dari Cakra & Co lalu menemui Edy Nasution dan mengajukan pendaftaran PK PT AAL. Edy pada 25 Februari 2016 lalu memberikan putusan kasasi kepada kuasa hukum baru sehingga Agustriady memberikan 50 ribu dolar AS dalam amplop cokelat kepada Edy Nasution.

Edy lalu memerintahkan kepada staf PN Jakpus yaitu Sarwo Edy dan Irdiansyah untuk memproses PK PT AAL, keduanya juga mendapat uang 4 ribu dolar Singapura.

“Pada 30 Maret 2016, PK perkara PT AAL dikirim ke Mahkamah Agung dimana sebelum perkara dikirimkan, Edy Nasution dihubungi Nurhadi selaku Sekretaris MA yang meminta agar berkas perkara niaga PT AAL segera dikirim ke MA,” ungkap jaksa Basir.

Setelah pendaftaran PK, pada 11 April 2016, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho kembali menyiapkan Rp50 juta untuk diberikan kepada Edy Nasution. Uang lalu diserahkan melalui Wresti yang kemudian menugaskan Doddy untuk menyerahkan uang tersebut yang disepakati penyerahan pada 20 April 2016 di hotel Acacia Senen. Sesaat penyerahan uang, Doddy dan Edy ditangkap petugas KPK.

Atas perbuatannya, Eddy Sindoro didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a dan atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Terhadap dakwaan tersebut, Eddy Sindoro tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi). “Tidak akan mengajukan eksepsi,” ucap Eddy Sindoro.

Eddy Sindoro sendiri pernah melarikan diri keluar negeri sejak November 2016 hingga menyerahkan diri pada 12 Oktober 2018 di KBRI Singapura.

Sedangkan Doddy Ariyanto Supeno sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan dan Edy Nasution divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan pada 2016 lalu.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: