Jakarta, Aktual.com – Bencana alam yang menimpa Pulau Sumatera sejak akhir November tahun ini meneguhkan suatu kenyataan historis di tubuh bangsa Indonesia: fakta bahwa di negeri kepulauan ini, dengan segala keelokannya, ia tetaplah merupakan tanah yang berdiri di atas geologi yang rentan.
Dari Aceh hingga Sumatera Barat, tanah kita berada di simpang lempeng tektonik yang setiap waktu dapat mengirimkan gelombang bencana—banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan berbagai bencana lain yang sewaktu-waktu dapat merampas nyawa dan mata pencaharian.
Sebagaimana jamak dipahami, Pulau Sumatera adalah salah satu kawasan strategis Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi, ekspansi perkotaan, dan pergerakan industri yang meningkat pesat. Namun perkembangan tersebut tidak selalu sejalan dengan perencanaan ruang yang berbasis risiko.
Banyak daerah yang seharusnya menjadi kawasan lindung berubah menjadi lokasi perkebunan, pertambangan, atau permukiman. Pembangunan tanggul, drainase, dan berbagai infrastruktur pengendali banjir kerap tidak mengikuti standar ilmiah. Maka, ketika intensitas hujan meningkat atau gempa besar terjadi, kerentanan yang sudah lama dibiarkan itu akhirnya memuncak menjadi bencana.
Di titik inilah, sebagai anak bangsa, kita perlu jujur menyadari bahwa sebagian besar kerugian bencana yang dialami saat ini sesungguhnya bukanlah semata-mata akibat faktor alam, melainkan akumulasi dari tata kelola lingkungan yang tidak konsisten.
Laju deforestasi di Sumatera masih menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia. Alih fungsi lahan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek terus melampaui kapasitas daya dukung lingkungan. Sementara itu, di banyak tempat, pemerintah daerah mengeluarkan izin yang tidak selaras dengan rencana tata ruang, dan pengawasan serta penegakan hukum tampak masih lemah.
Bencana yang terjadi saat ini adalah sinyal kuat bahwa negeri ini harus segera berpindah dari pola manajemen bencana yang reaktif menuju pola mitigasi yang lebih sistematis. Secara nasional, Undang-Undang Penanggulangan Bencana hendaknya ditegakkan. Lembaga formal yang mengurusi bencana harus menyusun langkah-langkah mitigasi yang konsisten. Pada saat yang sama, kebijakan nasional itu harus mampu diterjemahkan secara konkret oleh pemerintah daerah.
Bangsa ini harus menimba pelajaran dari pengalaman negara lain. Jepang, misalnya, tidak mungkin menghilangkan gempa karena letak geografisnya, tetapi mereka mampu mengurangi korban dalam skala besar melalui tata ruang yang disiplin, pendidikan kebencanaan sejak dini, serta kewajiban standar bangunan tahan gempa. Indonesia perlu bergerak ke arah itu apabila ingin meminimalkan kerugian serupa di masa depan.
Bencana di Sumatera harus menjadi momen penting untuk menata ulang etika pembangunan. Kita tidak bisa membiarkan pembangunan daerah berjalan hanya berdasarkan kepentingan ekonomi jangka pendek tanpa kalkulasi risiko. Pemerintah daerah harus memastikan setiap keputusan perizinan selaras dengan peta risiko geologi, hidrologi, dan iklim. Rencana tata ruang harus menjadi dokumen mengikat, bukan sekadar formalitas administratif.
Dalam jangka menengah, Indonesia membutuhkan beberapa langkah konkret. Pertama, memperkuat sistem peringatan dini yang terintegrasi lintas kabupaten/kota dalam satu pulau. Bencana hidrometeorologi dan geologi tidak mengenal batas administratif, sehingga koordinasi antardaerah menjadi kunci. Kedua, memperkuat kapasitas lembaga lokal—BPBD, dinas lingkungan hidup, hingga perangkat desa—untuk mengembangkan rencana kontinjensi yang realistis. Ketiga, mempercepat rehabilitasi daerah aliran sungai yang kritis. Tanpa pemulihan DAS, kita akan terus menghadapi banjir yang sama setiap tahun.
Keempat, memastikan partisipasi publik dalam perencanaan tata ruang. Banyak keputusan tata ruang bermasalah justru lahir karena masyarakat tidak memiliki cukup informasi atau ruang untuk mengawasi proses perizinan. Ketika masyarakat dilibatkan sejak awal, kualitas tata ruang akan lebih akuntabel. Kelima, mengembangkan kurikulum literasi kebencanaan di sekolah dan kampus agar generasi muda tumbuh dengan kesadaran risiko dan budaya keselamatan.
Selain itu, dunia usaha juga perlu mengambil bagian dalam mitigasi bencana. Perusahaan perkebunan, tambang, dan industri ekstraktif lainnya harus bertanggung jawab atas dampak ekologis kegiatannya. Pengawasan lingkungan harus diperkuat, dan mekanisme sanksi perlu diterapkan secara tegas. Pembangunan tidak boleh lagi memindahkan risiko kepada masyarakat kecil yang tinggal di hilir sungai atau lereng perbukitan.
Dalam setiap bencana, kita sering melihat energi solidaritas masyarakat bekerja cepat. Relawan datang, dapur umum berdiri, dan bantuan mengalir. Ini menunjukkan kekuatan sosial bangsa yang patut diapresiasi. Namun solidaritas sosial yang hebat tidak boleh menjadi alasan untuk menunda perbaikan struktural. Gotong royong rakyat harus diiringi dengan kebijakan publik yang serius dan berbasis ilmu pengetahuan.
Akhirnya, bencana di Sumatera harus menjadi pengingat bahwa pembangunan Indonesia tidak boleh berjalan dengan mengabaikan keselamatan warganya. Di tengah perubahan iklim global yang semakin ekstrem, risiko bencana akan meningkat. Karena itu, ketahanan bangsa hanya dapat dibangun melalui tata ruang yang bijak, pemerintahan yang disiplin, dan masyarakat yang sadar risiko.
Jika kita menjadikan tragedi ini sebagai titik balik, Sumatera tidak hanya pulih dari bencana, tetapi juga menjadi contoh bagaimana sebuah wilayah dapat bangkit melalui kebijakan yang rasional, adil, dan berkelanjutan.
Sunanto, S.H.I., M.H.
Dewan Pembina Cakrawala Negarawan
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















