Kalau di Indonesia saat ini terkesan sedang dikipas-kipas konflik antara Sunni versus Syiah, di Kuwait –negara monarki Arab Teluk—baru-baru justru muncul berita yang menarik dan kontras. Menteri Pengadilan, Wakaf dan Urusan Islam Kuwait Yaqoub Al-Sanea ketika diwawancarai DPA Jerman, sebagaimana dilansir Alwaie News (6 November 2015) justru menegaskan persatuan antara Muslim Sunni dan Muslim Syiah di negeri kaya minyak ini.
“Peristiwa-peristiwa teror yang terjadi di Kuwait sama sekali tidak bisa mengusik dan memusnahkan persatuan antara warga Sunni dan warga Syiah Kuwait… Kuwait adalah negara yang berlandaskan hukum dan tidak terpengaruh oleh sektarianisme. Sudah 300 tahun warga Sunni dan Syiah di negara hidup berdampingan dengan rukun, bersaudara dan setara,” kata Yaqoub Al-Sanea.
Kuwait sudah beberapa kali jadi sasaran serangan teroris. Yang jadi target terutama adalah masjid-masjid komunitas Muslim Syiah. Masjid Imam Jakfar al-Shadiq diserang pada 26 Juni 2015, saat warga Muslim Syiah sedang melaksanakan sholat Jumat. Akibatnya, 27 jamaah meninggal dan 227 lainnya luka-luka.
Tetapi –dan ini hebatnya kekompakan antara Muslim Sunni dan Muslim Syiah di Kuwait—keduanya tidak terprovokasi untuk saling bermusuhan. Sebaliknya, ribuan warga Muslim dari kedua mazhab besar Islam ini pada Jumat berikutnya justru bergabung. Mereka menyelenggarakan sholat Jumat bersama di Masjid Agung Kuwait.
Untuk lebih memperlihatkan persatuan Sunni dan Syiah, diselenggarakan majelis khitam (tahlil) untuk para korban tragedi ini (warga Syiah) di Masjid Agung al-Kabir milik warga Sunni. Dengan cara ini, otoritas Kuwait ingin menyampaikan pesan bahwa persatuan Sunni-Syiah tidak dapat digoyahkan oleh siapa pun.
Sebagai tindak lanjut dan respons terhadap provokasi terus-menerus, yang ingin membenturkan komunitas Sunni dan Syiah, pemerintah Kuwait sudah mencanangkan suatu pola baru serta program-program keagamaan, yang bertujuan memasyarakatkan paham moderat dan membendung radikalisme di semua masjid dan pusat keagamaan di Kuwait.
Umat Islam Indonesia bisa belajar banyak dari Muslim di Kuwait. Perdamaian dan kerukunan antar umat beragama itu sangat bernilai dan mahal harganya. Banyak orang lebih mengedepankan emosi dan akal pendek, mendahulukan versi kebenarannya sendiri dengan menafikan hak-hak orang lain, karena mereka tidak pernah merasakan pahit getirnya perang dan konflik berdarah yang berkepanjangan. Maka mereka begitu bersemangat menghantam sana-sini, menindas pihak-pihak yang dianggap tidak sesuai dengan versi kebenaran yang dianutnya.
Mereka yang sudah mengalami pahit getir konflik berdarah-darah, biasanya lebih mudah memahami perdamaian. Karena sadar, di atas tanah yang sama, ruang-waktu yang sama, kita tidak mungkin hidup nyaman dengan permusuhan, kebencian, dan penuh kecurigaan di antara sesama manusia. Karena sama-sama menyadari hal itu, tanpa menafikan perbedaan yang ada (yang memang tidak bisa dengan gampang dianggap sama saja) mereka mencari formula untuk hidup bersama.
Setiap negara dan bangsa mencoba resep yang berbeda-beda, tergantung situasi, kondisi lingkungannya. Lebanon yang sudah trauma perang saudara, misalnya, membuat kesepakatan dalam urusan kenegaraan. Yakni, jabatan Presiden itu jatah Kristen. Perdana Menteri jatah Muslim Sunni. Ketua Parlemen jatah Muslim Syiah.
Di Indonesia, karena jumlah Muslim yang mayoritas mutlak, kita tidak membuat pengaturan semacam ini, tetapi membuat rumusan Pancasila. Semua orang apa pun latar belakang agama dan etnisnya bisa menjabat apa saja sesuai kemampuannya. Lalu ada pertanyaan, apakah orang Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu bisa menjadi Presiden RI atau Wapres RI? Jawabannya: Secara konstitusional tidak ada larangan buat mereka menjadi Presiden atau Wapres. Jadi sah dan boleh saja.
Tetapi jika mereka maju dan kemudian tidak terpilih, atau tidak didukung secara demokratis, itu adalah yang kita sebut realitas politik. Itu sah saja. Mereka tidak terpilih bukan karena dibatasi oleh konstitusi, tetapi kalah dalam meraih dukungan suara. Hal ini berlaku untuk jabatan lain yang melalui pemilihan juga, misalnya, jabatan Gubernur.
Umat Islam Indonesia sudah dikenal di dunia sebagai umat yang mengedepankan sikap moderat dan toleran. Jangan biarkan citra positif ini dirusak oleh orang-orang yang kerjanya mengipas-ngipas dan membakar konflik antar umat beragama. Provokasi semacam itu harus dilawan, karena taruhannya terlalu tinggi, yakni keselamatan bangsa ini. ***
Artikel ini ditulis oleh: