Jakarta, Aktual.com – Pemerintah belum juga merampungkan aturan teknis terkait pajak perusahaan yang bermain di sektor over the top (OTT) seperti Google, Facebook, dan Twitter. Mestinya regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi itu rampung tahun ini.
Tapi karena masalah administrasi yang belum tuntas, regulasi ini pun baru akan selesai pada tahun depan. Atau tepatnya di kuartal I-2018 nanti.
“Iya Permennya mundur ke triwulan pertama 2018 ya. Tapi sudah pasti (terbit). Itu mundur karena administrasi penyesuaian saja sih yang belum beres,” ungkap Menkominfo, Rudiantara di Jakarta, Selasa (26/12).
Dalam pembentukan Permen ini juga turut membahas mengenai aturan baru mengenai KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha). Sebelumnya pemerintah baru saja merampungkan aturan KBLI terbaru pada bulan Mei.
Perubahan KBLI tersebut memasukkan kategori bisnis baru yang sesuai dengan bisnis yang dilakukan para penyedia layanan OTT seperti Google, Facebook, dan Twitter itu.
Dengan adanya KLBI baru ini, akan membuat OTT asing yang memiliki perusahaan di Indonesia namun hanya berbasis servis company akan berbasis perusahaan bisnis. Sehingga OTT asing tak lagi terhindar dari kewajiban pajaknya di Indonesia.
Nantinya dalam Permen itu akan diatur penyedia layanan OTT harus membayar pajak, termasuk OTT Asing. Sebetulnya, pihak Kemkominfo telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) pada tahun lalu. SE Nomor 3 tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (OTT), Kominfo memastikan seluruh penyedia layanan OTT harus membayar pajak, termasuk OTT Asing.
Disebutkan dalam SE itu layanan OTT dapat disediakan oleh perorangan atau badan usaha asing dengan ketentuan wajib mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. BUT itu didirikan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
“Sekarang kan platformnya yang besar itu dari luar, perusahaannya juga di luar negeri. Ada perusahaannya di dalam negeri tapi mereka tidak bisnis. Hanya sebagai service company saja,” kata dia.
“Kantornya di luar negeri, perusahaan ada di sini tapi tidak berbisnis. Artinya kalau jadi reseller mereka berbisnis di sini,” imbuh dia.
Karena beroperasi di Indonesia, maka bisnis OTT asing ini juga harus mengikuti kebijakan fiskalnya atau perpajakannya berdasarkan UU yang berlaku di Indonesia. Dengan begitu, lanjutnya, akan menghasilkan kesetaraan antara perusahaan asing dengan perusahaan dalam negeri baik dalam hukum maupun dalam hal membayar pajak.
“Ini akan sangat bagus, setidaknya-tidaknya ada kesetaraan perlakuan baik secara hukum maupun secara pajak untuk perusahaan nasional dan internasional. Kan perusahaan dari luar negeri (platform) bayar pajak juga enggak, tapi yang di dalam negeri bayar pajak mulu. Kalau berbisnis di Indonesia jadi setara bayar pajak dan sebagainya,” pungkas dia.
Busthomi
Artikel ini ditulis oleh: