“Sebelum itu Menteri tidak berwenang sebab kewenangan pencabutan status badan hukum masih milik Pengadilan (sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013),” papar mantan Menkumham ini.

Kedua, pertimbangan majelis yang menyatakan bukti berupa buku dan bukti elektronik berupa video yang dianggap sebagai alat bukti yang sah. Hal itu, tegas dia, jelas keliru karena buku tersebut bukanlah peristiwa hukum (fakta) melainkan sekedar referensi ilmiah.

“Referensi ilmiah itu tidak pernah dikonfirmasi secara sah melalui pemeriksaan yang fair dan objektif. Selanjutnya bukti video yang dijadikan dasar ternyata baru diverifikasi tanggal 19 Desember 2017, tepat lima bulan setelah Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU-30A.H.01.08 Tahun 2017. Hal ini membuktikan bahwa bukti baru dicek orisinalitasnya setelah hukuman dijatuhkan,” jelasnya.

Ketiga, ihwal pertimbangan hakim yang menyatakan penerbitan SK Menteri tersebut telah sesuai prosedur. Namun pada faktanya, tidak pernah ada pemeriksaan secara langsung kepada penggugat (HTI).

“Tidak pernah ada konfrontir atas keterangan dan bukti sehingga ketiadaan pemeriksaan yang fair dan objektif (due process of law) itu jelas menunjukkan penghukuman dilakukan tanpa prosedur yang cukup,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara