Jakarta, Aktual.com — Gelombang banjir dan longsor di Sumatera kembali memunculkan sorotan terhadap kondisi hutan yang kian mengkhawatirkan. Data terbaru menunjukkan kehilangan hutan yang signifikan di tiga provinsi terdampak. Sumatera Utara mencatat deforestasi 19.563 hektare, Sumatera Barat 10.521 hektare, dan Aceh 14.890 hektare.
Laporan Simontini 2024 juga menegaskan bahwa sebagian besar deforestasi justru terjadi pada sektor berizin, seperti perkebunan kayu, pertambangan, kelapa sawit, dan logging. Lemahnya penegakan hukum di sektor kehutanan disebut memperburuk kondisi tersebut.
“Ketika kerusakan justru didominasi pemegang izin, itu artinya pengawasan negara tidak berjalan sebagaimana mestinya,” ujar Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet, dikutip dari laman fraksi.pks.id, Minggu (7/12/2025).
Politikus PKS itu menyebut, dari seluruh operasi pengamanan hutan selama beberapa tahun terakhir, hanya satu kasus di Aceh, empat di Sumatera Utara, dan satu di Sumatera Barat yang berhasil mencapai tahap P21. Di sisi lain, data Kementerian ESDM dan JATAM mengungkap keberadaan 1.907 izin tambang aktif di Pulau Sumatera, dengan total luas lebih dari 2,45 juta hektare.
Menurut Slamet, perpaduan antara lemahnya penegakan hukum dan masifnya izin ekstraktif membuat fungsi ekologis kawasan hutan hilang dalam waktu cepat. “Bagaimana masyarakat bisa terlindungi dari bencana jika kawasan lindung terus dipersempit oleh izin-izin besar?” tegasnya.
Situasi semakin memprihatinkan setelah deforestasi nasional melonjak 97.124 hektare atau 81,6 persen sepanjang periode 2019–2024. Komisi IV menilai lonjakan tersebut berkorelasi kuat dengan perubahan kebijakan melalui UU Cipta Kerja dan PP No. 23/2021, yang menghapus persetujuan DPR dalam alih fungsi kawasan hutan, termasuk hutan lindung. Kebijakan ini dinilai melemahkan sistem kontrol negara serta mengabaikan kewajiban mempertahankan minimal 30 persen tutupan hutan di setiap daerah.
“Ketika fungsi kontrol DPR dihilangkan, izin-izin keluar tanpa keseimbangan pengawasan. Dampaknya kini kita lihat langsung dalam bentuk bencana ekologis,” ujarnya.
Atas kondisi ini, Slamet mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin kehutanan dan pertambangan, memperketat pengawasan lapangan, dan mempertegas penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Ia juga menekankan perlunya revisi UU Cipta Kerja untuk mengembalikan mekanisme check and balance serta memastikan kewajiban 30 persen tutupan hutan dapat ditegakkan. Tanpa langkah korektif tersebut, ia menilai kerusakan ekologis di Sumatera dan wilayah lain berpotensi semakin meluas dan kembali menimbulkan korban.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi














