Jakarta, aktual.com – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan peningkatan signifikan jumlah korban akibat banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Hingga Selasa (2/12) sore, jumlah korban meninggal mencapai 712 orang, sementara 507 orang lainnya masih dinyatakan hilang.
Mengacu pada data resmi BNPB, Aceh mencatat 218 korban meninggal dan 227 orang hilang. Di Sumatera Utara, terdapat 301 korban meninggal serta 163 orang hilang. Adapun Sumatera Barat mencatat 193 orang meninggal dan 117 orang hilang.
Korban luka-luka di tiga provinsi tersebut mencapai 2.564 orang, sementara jumlah warga yang terdampak banjir dan longsor menembus 3,3 juta jiwa. Gelombang bencana yang menerjang sekitar 50 kabupaten/kota itu juga merusak ribuan rumah warga secara berat.
Dari sisi ekonomi, Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan kerugian akibat bencana banjir dan longsor tersebut mencapai Rp68,67 triliun. Estimasi itu dihitung berdasarkan lima kategori kerugian, mulai dari kerusakan rumah serta jembatan, hilangnya pendapatan keluarga selama 20 hari kerja, kerugian produksi sawah dengan asumsi hasil panen 7 ton per hektare, hingga biaya perbaikan jalan sepanjang 1.000 meter.
Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menegaskan bahwa skala bencana ini tidak dapat dilepaskan dari masifnya alih fungsi lahan dalam satu dekade terakhir. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menjelaskan bahwa sejak 2016 hingga 2024, ketiga provinsi terdampak kehilangan sekitar 1,4 juta hektare kawasan hutan. Selain itu, terdapat 631 izin perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut.
“Perusahaan-perusahaan ini bergerak di sektor tambang, lalu kemudian juga di sektor perkebunan monokultur sawit, PBPH atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, dan industri-industri energi lainnya seperti PLTA dalam skala yang besar yang terjadi di Batang Toru dan wilayah lainnya,” kata Uli.
Ia menambahkan bahwa kondisi ekologis ketiga provinsi itu telah berada pada tingkat kerentanan tinggi. Akibatnya, ketika cuaca ekstrem datang, dampak kerusakannya menjadi jauh lebih besar.
“Jadi, kami melihat bahwa alih fungsi lahan itu adalah penyebab utama dari banjir yang terjadi di tiga provinsi itu. Curah hujan, siklon, dan lain sebagainya itu hanya pemicu. Tetapi kondisi ekologis kita itu sendiri juga sudah rentan,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain






















