Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2023-2026 Muhammad Isnur. Aktual/ TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik kuat pendekatan militeristik yang dinilai mendominasi penanganan bencana banjir bandang di sejumlah wilayah Sumatera. YLBHI menilai pengerahan aparat bersenjata, termasuk TNI, tidak menyentuh akar persoalan bencana yang bersumber dari kegagalan mitigasi, perencanaan tata ruang, dan perlindungan lingkungan.

Ketua YLBHI, M. Isnur, mengatakan penanganan bencana seharusnya mengedepankan pendekatan sipil berbasis pengurangan risiko, kesiapsiagaan, serta pemulihan korban. Namun yang terjadi di lapangan justru dominasi pendekatan keamanan melalui pembentukan satuan tugas dan pengerahan aparat militer.

“Pemulihan dilakukan dengan cara militeristik, bukan dengan memperbaiki mitigasi, pencegahan, perencanaan, kesiapsiagaan, dan sistem peringatan dini,” ujar Isnur dalam diskusi daring bertajuk Kejahatan Kemanusiaan, Bencana Sumatera/Aceh dan Penyelamatan Hak Konstitusional Warga Negara, Senin (29/12/2025).

Menurut Isnur, keterlibatan aparat bersenjata dalam fase tanggap darurat memang diatur dalam regulasi kebencanaan. Namun dominasi militer muncul akibat negara gagal menjalankan kewajiban pada tahap pra-bencana. Ia menyoroti pembiaran pembukaan hutan, rusaknya daerah aliran sungai, pengabaian tata ruang, serta tidak ditindaklanjutinya peringatan dini dari BMKG sebagai penyebab utama bencana.

Alih-alih melakukan evaluasi menyeluruh, pemerintah dinilai justru mengedepankan pendekatan komando. Dampaknya, proses evakuasi dan pemenuhan kebutuhan dasar warga berjalan lambat dan tidak merata, terutama di wilayah terisolasi.

Isnur juga mengkritik sikap pemerintah yang menolak bantuan internasional serta mencurigai laporan relawan dan warga di media sosial. “Menolak bantuan dan mencurigai relawan adalah kesalahan fatal,” tegasnya.

Pendekatan keamanan, lanjut Isnur, berimbas pada penyempitan ruang sipil. Kritik warga kerap dipandang sebagai ancaman. “Bencana ekologis akhirnya bergeser menjadi krisis demokrasi,” katanya.

YLBHI menilai kondisi ini mencerminkan tiga persoalan utama: inkompetensi, sikap anti-sains, dan arogansi kekuasaan. Di tengah keterbatasan negara, masyarakat sipil justru menjadi penopang utama penanganan bencana.

Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menegaskan pemerintah telah bergerak sejak hari pertama bencana. Ia meminta kritik disampaikan secara bijak dan tidak menggiring opini seolah pemerintah tidak bekerja.

YLBHI menegaskan penanganan bencana harus dikembalikan pada prinsip sipil, berbasis ilmu pengetahuan, dan menjunjung hak asasi manusia agar kesalahan serupa tidak terus berulang.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi