Jakarta, Aktual.co —Sesungghunya perceraian itu hal yang paling dibenci oleh agama manapun. Namun demikian, jika jodoh seseorang tak lagi panjang, pasangan suami-istri dianjurkan bisa mengakhiri hubungan rumah tangganya dengan baik-baik melalui sebuah perceraian.
Aktual.co kali ini, tidak membahas tentang masalah perceraian. Tapi, lebih kepada tanggung jawab seorang ayah sebagai suami terhadap anaknya dalam memberikan nafkah.
Jadi, apabila hubungan rumah tangga seseorang berakhir (bercerai) dan memiliki keturunan dari pernikahan itu, bagaimanapun anak adalah tetap anak.
Menyikapi secara bijaksana menjalankan tugasnya sebagai seorang ayah. Suami (ayah) wajib menafkahi anaknya walaupun dia sudah bercerai dari istrinya sampai anak itu dewasa berusia maksimal 21 tahun.
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 156 Bab 17 tentang Akibat Putusnya Perkawinan dengan tegas dinyatakan bahwa: “Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).”
Dan, bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan dengan mengingat kemampuan ayahnya serta menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Sementara itu, para Ulama sepakat dengan keputusan tersebut. Pasalnya, bagi seorang ayah dalam memberikan nafkah kepada istrinya atas pemberian ASI (air susu ibu) kepada anaknya. Karena menafkahi anak itu merupakan kewajiban seorang ayah.
Meskipun pandangan lain terjadi dalam menyikapi persoalan menafkahi anak mengatakan ada batas wajibnya bagi seorang ayah dalam memberi nafkah pada anak. Berikut penjelasannya :
“Kewajiban membiayai anak bagi seorang ayah ada batasnya. Kewajiban itu gugur apabila anak mencapai usia dewasa. Dewasa menurut hukum Islam adalah sudah baligh (kira-kira 14 tahun). Sedang dewasa menurut ukuran negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun.”
Kalau anaknya yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar Ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap mampu untuk bekerja sendiri.
Namun, ada sebagian Ulama yang berpendapat sebaliknya yakni kewajiban menafkahi tetap pada bapak. Namun apabila anak yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka menurut Ibnu Taimiyah kewajiban membiayai ada pada bapak.
Dalam pembahasan ini, Aktual.co hanya ingin mengajak pembaca memahami secara bijak tentang ulasan di atas, Karena bagaimanapun perceraian sering menjadikan anak-anak sebagai korbannya.
Bahkan jika ditinjau secara psikologis. Seorang anak tetap membutuhkan sentuhan kasih sayang orangtuanya baik dari ayah maupun ibu, meskipun kedua pasangan itu telah bercerai.
Artikel ini ditulis oleh: