Jakarta, Aktual.com — Keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang kembali mengeluarkan izin perpanjangan ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) beberapa waktu yang lalu dianggap sebagai sikap inkonsistensi terhadap aturan perundang-undangan yang telah dibuat sendiri oleh pemerintah.
Direktur Indonesian Reseources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan, selama ini pihak PT Freeport selalu tidak serius dalam mematuhi UU Minerba yang mengharuskan pembangunan pabrik pengolahan biji konsentrat atau smelter karena pemerintah selama ini juga terkesan tidak serius menegakkan UU Minerba tersebut.
“Salah satu penyebabnya adalah karena memang pemerintah kita dan si freeportnya tidak konsisten. Pemerintah tidak konsisten waktu mendesaknya dulu saat 2010 supaya mereka buru-buru tunduk. Sementara freeport terus juga membangkang, sehingga terjadilah kondisi terdesak seperti saat ini. Artinya dua-duanya, pemerintah dan Freeport punya konstribusi sampai kita terdesak seperti ini,” papar Marwan kepada Aktual.com, Kamis (25/2).
Namun, menurut Marwan, meski saja saat ini dalam kondisi terdesak, tetap perlu ada keputusan yang tegas dari pemerintah, bagaimana memaksa mereka (Freeport) membangun smelter.
Marwan juga menyesalkan sikap DPR sebagai lembaga pengawasan pemerintah yang terkesan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran UU.
“Itu kan saya sudah bilang tadi, sudah melanggar itu. Pelanggaran ini mestinya bisa dikoreksi, dikenakan sanksi oleh DPR. Sekarang mau gak DPR nya? Kalau tidak ya seperti ini terus, sama dengan sebelumnya kan? Pak SBY melanggar, tapi oleh DPR waktu itu dibiarkan,” paparnya.
Akhirnya, menurut Marwan kondisi tersebut berlangsung hingga saat ini. Meskipun memang bisa saja dimengerti, ada kondisi tertentu sehingga kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM dengan alasan menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi tenaga kerja Freeport, pemerintah butuh penerimaan negara dalam bentuk pajak.
“Kita juga mengerti itu tapi bagaimana supaya masalah ini secara legal itu tidak melanggar hukum. Bagaimana menjembatani ini. Karena itu mungkin dengan jalan, bisa saja terpaksa menerbitkan perppu atau Undang-undangnya buru-buru direvisi. Namun pemerintah juga harus hati-hati melakukan revisi,” paparnya.
Marwan menuturkan, jika pemerintah beralasan aturan yang dijadikan landasan untuk memberikan kelonggaran ekspor tersebut adalah berdasarkan PP No 1 Tahun 2014. Mestinya pemerintah jangan lupa bahwa di atas PP itu ada Undang-Undang yang dilanggar.
“Mestinya kan bisa dibatalkan. Pemerintah sudah melanggar. Tinggal sekarang fungsi pengawasan DPR seperti apa. Kalau memang ada pelanggaran mau dikoreksi tidak,” tukasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan