Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menko Perekonomian Darmin Nasution (kiri) bersiap memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (3/12). Rapat tersebut membahas soal percepatan pembangunan kilang minyak dan ketersediaan listrik bagi masuknya investasi di Indonesia. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/pd/15.

Jakarta, Aktual.com – Ahli Ekonomi Indonesia Ichsanuddin Noorsy mengatakan sepanjang tahun 2015 kebijakan pemerintahan Jokowi-JK kontra produktif dengan pembangunan ekonomi. Pemerintah terus menerus membuat kegaduhan sehingga muncul ketidak percayaan dan ketidakpastian hukum.

“Perlambatan ekonomi bisa dikurangi intensitasnya jika masalah politik dan hukum menumbuhkan keyakinan akan sehat dan pastinya penegakkan hukum,” kata Noorsy di Jakarta, Kamis (24/12).

Kenyataan yang terjadi sejak November 2014, kebijakan pemerintah meliberalkan harga migas dengan secara langsung berarti menggadaikan kepastian hukum.

Kemudian dilanjutkan Kasus BG versus KPK, dua komisioner KPK dikriminalisasi, permintaan Penyertaan Modal Negara meningkat tajam bersamaan dengan meroketnya masalah impor pangan. Beber Noorsy.

“Keyakinan publik sempat sedikit membaik pada saat Pergantian sejumlah anggota kabinet. Darmin Nasution menggantikan Sofyan Djalil di Menko Ekonomi dan Rizal Ramli mengambil posisi Menko Maritim dan SDA, namun tetap tidak mampu memperbaiki serapan anggaran,” tuturnya.

Hingga di akhir November 2015 target penerimaan perpajakan tidak tercapai, rata-rata berada di bawah 60 persen.

Lalu muncul masalah-masalah lain diantaranya penguasa yang menjadi pengusaha, isu KKN dalam proyek pengadaan pesawat Air Bus untukk Garuda, proyek listrik 35GW, Pelindo II dan ijin ekspor serta perpanjangan kontrak Freeport Indinesia.

“Kondisi ini berakumulasi dengan situasi eksternal yang lamban membaik. Atas dasar itu saya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2016 berkisar 4,8-5,2persen,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta