Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar

Jakarta, Aktual.com — Semua orang ingin hidup bahagia. Tetapi kita hidup di dunia dalam konteks ruang, waktu, dan situasi tertentu. Dan konteks itu adalah kita ingin bahagia sebagai warga negara Indonesia di tahun 2015, ketika kondisi sosial-ekonomi sedang terpuruk.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita bisa merasa bahagia, ketika secara faktual kita hidup di tengah krisis ekonomi? Bagaimana kiat untuk merasa bahagia, meski harga kebutuhan pokok terus naik, sementara nilai rupiah dan taraf kehidupan rasanya justru merosot?

Saya tidak berpretensi untuk memberi rumus kebahagiaan. Namun, saya ingin menyitir sebuah kisah, yang pernah saya baca di majalah anak-anak “Si Kuncung,” ketika saya masih siswa di Sekolah Dasar.

Begini kisahnya:  Dahulu kala ada sebuah kerajaan yang besar. Kerajaan itu cukup aman, damai, dan makmur. Sang raja berusaha memerintah negerinya dengan adil. Ia juga memiliki permaisuri yang cantik, dan juga memiliki dua orang anak yang lucu-lucu.

Namun, meski sudah hidup berkecukupan, sang raja selalu mengeluh. Ia merasa lelah mengurus kerajaan. Tetapi rakyat sepertinya tidak tahu terimakasih dan tidak selalu mudah diatur. Ada saja masalah yang timbul, meski raja sudah berusaha bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Singkatnya, raja merasa tidak bahagia.

Akhirnya, sang raja memanggil salah seorang menterinya. Menteri itu diberi sebuah tugas khusus, yaitu mencari satu orang warga kerajaan yang betul-betul 100 persen merasa bahagia. Jika orang itu sudah diketemukan, si menteri disuruh membeli baju orang itu, berapapun harganya. Sang raja ingin mengenakan baju orang yang bahagia itu, supaya ia ikut tertular merasakan kebahagiaan.

Maka si menteri pun melakukan perjalanan jauh ke seantero kerajaan, untuk menemukan orang yang 100 persen bahagia. Namun, mencari orang yang betul-betul 100 persen bahagia, ternyata tidak mudah. Sudah hampir setahun si menteri berkelana ke seluruh penjuru kerajaan, tetapi belum juga berhasil bertemu seseorang yang betul-betul 100 persen merasa bahagia.

Ada beberapa orang yang merasa hidupnya cukup senang, tetapi selalu ada saja kekurangannya. “Ya, kehidupan saya lumayan baik, tetapi….” Begitulah. Selalu ada satu dan lain alasan, yang membuat seseorang tidak pernah 100 persen bahagia. Entah karena kurang harta, belum bertemu jodoh, belum naik pangkat, dan sebagainya.

Si menteri nyaris putus asa. Nah, di ujung keputus-asaan itu, sampailah dia di pinggiran pantai dan melihat sebuah gubuk kecil dan kumuh. Waktu itu, sudah agak malam. Si menteri mendengar, suara laki-laki di dalam gubuk itu berkata; “Wah, semua pekerjaanku hari ini sudah selesai. Tidak ada lagi beban. Sekarang tinggal tidur dan beristirahat. Aduuh, betapa bahagianya diriku!”

Mendengar ucapan itu, hati si menteri tersentak. “Ini dia yang kucari selama ini,” pikirnya. “Orang yang betul-betul 100 persen merasa bahagia, tanpa syarat atau keluhan apapun.”

Si menteri pun mengetuk pintu gubuk itu, dan bertemu dengan orang bersangkutan. Dia bertanya, “Kawan, saya dengar tadi kau bilang bahwa kau sangat bahagia. Benarkah kau sepenuhnya 100 persen merasa bahagia? Tidak ada keluhan atau ganjalan sedikit pun?”

“Betul sekali. Aku sepenuhnya 100 persen merasa bahagia. Tidak ada keluhan atau ganjalan sedikit pun. Memangnya kenapa?” kata pria yang tinggal di gubuk itu.
Si menteri pun menjelaskan tugas yang diembannya dari sang raja. “Jadi, sekarang aku ingin membeli bajumu. Berapa pun harga yang kau sebutkan, tak usah khawatir, pasti aku akan membayarnya!” kata si menteri.

Mendengar ucapan menteri itu, wajah si penghuni gubuk malah berubah sedih. Ia menjawab: “Aduh, sayang sekali, kawan. Aku sebenarnya sangat ingin membantumu dan membahagiakan raja kita. Tetapi masalahnya, aku tidak punya baju satu potong pun!”

Lantas apa hikmah dari kisah ini? Kebahagiaan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor internal dari dalam hatimu sendiri, ketimbang faktor eksternal. Kebahagiaan itu harus dicari di dalam, bukan dari hal-hal eksternal. Kita mungkin tak bisa menghindar dari krisis ekonomi, bencana alam, dan lain-lain, tapi insyaAllah kebahagiaanmu tidak ditentukan oleh hal-hal itu.

Artikel ini ditulis oleh: