Jakarta, Aktual.com – Pemerintah melalui Kementerian BUMN hampir dipastikan akan membentuk holding BUMN sektor industri Migas kendati secara yuridis, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)-nya belum ditandatangani oleh Presiden.
Pembentukan ini direncanakan akan berlangsung besok Kamis (25/1) dengan ditandai Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT PGN, yang mana pemerintah mengalihkan sahamnya dari PGN kepada PT Pertamina (Persero) melalui mekanisme Penyertaan Modal Negara (PMN). Degan demikian PGN akan menjadi anak perusahaan Pertamina.
Namun Komisi VI DPR kembali menegaskan bahwa kebijakan itu tidak memiliki nilai legitimasi di mata DPR karena dianggap melanggar perundang-undangan.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Azam Asman Natawijana menjelaskan pada PP nomor 72 tahun 2016 yang menjadi landasan holding BUMN, telah mengebiri fungis pengawasan DPR, padahal dalam UU BUMN maupun UU Keuangan Negara mengatakan perpindahan saham harus melalui persetujuan DPR, namun PP tersebut mengabaikan kewenangan DPR.
“Kita telah menolak PP 72 itu. Ini amburadul. Siapa yang memiliki ide ini harus tanggungjawab segala akibatnya, harus ada punishment kalau gaga seperti apa,” kata dia kepada Aktual.com, ditulis Rabu (24/1).
Secara manfaat, tegas Azam; tidak ada jaminan bahwa pembentukan holding bisa membuat harga gas lebih murah pada masyarakat. Secara jelas tukasnya, regulasi pengaturan tarif berada di tangan Kementerian ESDM, sehingga menurut Azam; hendaknya penataan BUMN migas juga melibatkan Kementerian ESDM agar dapat dikomunikasikan dengan Komisi VII DPR yang sedang menata kelembagaan migas melalu RUU Migas.
“Apa manfaat langsung holding bagi masyarakat? Tidak ada jaminan harga gas bisa turun, siapa berani jamin? Kan regulasi berada di sebelah (Kementerian ESDM). Harusnya holding melibatkan ESDM dan DPR,” tegas dia.
Selain itu, dia tidak yakin holding ini bisa dikonsolidasikan secara mudah, sebab selain rumitnya dalam kaidah keuangan, masing masing perusahaan memiliki sejarah yang berbeda dan budaya yang berbeda.
“Budaya organisasi dan sejarahnya beda-beda, bukan tidak mungkin ini terjadi benturan emosional dan menjadi kendala bisnis,” pungkas dia.
Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta