Jakarta, Aktual.com – Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Erwin Rijanto merisaukan adanya kelonggaran aturan dari pemerintahan Jokowi-JK saat ini tentang kepemilikan asing, menurutnya hal itu menjadi salah satu pemicu ketidakseimbangan sistem keuangan nasional.
Dia menceritakan kejadian krisis 1998 di Indonesia akibat adanya ketidakseimbangan keuangan nasional yang disebabkan oleh tingginya Utang Luar Negeri (ULN) swasta.
“Krisis 98 saya melihat dari ketidakseimbangan. Permasalahannya, kita melepas nilai tukar sehingga nilai tukarnya meningkat, tapi permasalahan utama adalah perusahaan-perusahaan atau real sektor itu utang dana luar negerinya berlebihan dan utang itu tidak di-hedging, sehingga terjadi ketidakseimbangan,” tuturnya, usai buka puasa bersama para jurnalis di Gedung BI, Selasa (28/6) malam.
Begitu nilai tukar meningkat, lanjut Erwin, maka jumlah utangnya jadi membengkak. Pada akhirnya perusahaan banyak yang bangkrut dan mengalami kredit macet.
“Karena kredit macet, maka Non Performing Loan (NPL) perbankan naik, karena NPL naik maka harus nambah modal, itulah awal krisis 98, jadi kita bermulanya ketidakseimbangan maka itulah sekarang yang perlu kita awasi terus,” ujarnya.
Untuk itu, dia mengingatkan bahwa kebijakan memberi kelonggaran regulasi kepemilikan asing di Indonesia merupakan ancaman bagi sistem keuangan nasional.
“Saya mengingat, kita dalam posisi susah loh. Salah satu penyebab ketidakseimbangan tentang kepemilikan asing. Coba kamu lihat dari pasar modal, 65 persen dari total administrasi. Artinya apa, begitu asing itu keluar, ya kita habis semua. kita sekarang main-main dengan api, kalau tersulut benaran kita tidak bisa mengendalikan. Padahal asing itu sangat terpengaruh sama rumor, makanya kamu (wartawan) jangan nyebar rumor yang nggak-nggak,” tandasnya sembari tertawa.
Seperti diketahui, Indonesia telah mengeluarkan peraturan baru untuk membuka sektor bisnis investor dengan cara mempermudah kepemilikan asing, Presiden Joko Widodo mengatakan kebijakan itu sebagai langkah melakukan liberalisasi ekonomi secara besar-besaran.
Keputusan presiden itu ditandatangani Jokowi pada minggu lalu, secara umum isinya mengarahkan kepada kelonggaran syarat-syarat dalam berbagai usaha termasuk pariwisata, transportasi dan bioskop.
Selain itu kelonggaran perizinan juga terjadi pada usaha di sektor jasa, ritel dan pelabuhan, meskipun peraturan diperketat pada kontrol telekomunikasi dan e-commerce.
liberalisasi ini diperkirakan bagian dari strategi Jokowi untuk memperluas sektor manufaktur dan pariwisata dalam perekonomian terbesar di Asia Tenggara untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas mentah.
Kemudian, peraturan baru ini mengizinkan orang asing untuk memiliki 67 persen dari department store dengan luas lantai penjualan 400 meter persegi sampai 2.000 meter persegi, padahal sebelumnya mereka hanya bisa berinvestasi di sebuah department store dengan lantai penjualan 2.000 meter persegi.
“Ini adalah pertama kalinya dalam bertahun-tahun, mungkin lebih dari 10 tahun, bahwa Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk membuka investasi selebar itu,” kata Direktur dari American Chamber of Commerce di Indonesia, Lin Neumann yang dilansir Aktual.com dari Reuters, Sabtu (28/5).
Dia menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika memiliki minat investasi “Mari kita lihat bagaimana mudahnya untuk datang. Mudah-mudahan birokrasi akan merespon.” Pungkas Neumann.
Laporan: Dadang
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta