Karyawan penukaran mata uang asing menunjukkan mata uang dolar dan mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Rabu (9/11). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada saat jeda siang ini kian terpuruk di zona merah. Rupiah ditutup terapresiasi tipis 0,02% atau 2 poin ke level Rp13.084 per dolar AS setelah diperdagangkan pada kisaran Rp13.058 – Rp13.099 per dolar AS. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com  – Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menekankan pelemahan nilai tukar rupiah sepanjang Kamis dan Jumat ini bukan karena sentimen pasar dari rencana demonstrasi pada 2 Desember 2016 dan isu penarikan uang tunai secara masif.

“Penarikan uang itu tidak ada isu. Kita perbankannya sehat, likuditasnya juga baik. (Pelemahan) Ini karena faktor di luar negeri,” kata Agus di sela Rapat Kerja Ekonomi dan Keuangan Daerah, di Surabaya, Jatim, Jumat (25/11).

Menurut BI, tekanan terhadap rupiah pada Kamis (24/11) dan Jumat ini, -yang membawa rupiah ke level Rp13.500 per dolar AS-, karena nilai tukar mata uang dolar AS yang menguat setelah dirilisnya data-data perbaikan ekonomi AS pada Rabu (23/11).

Sentimen positif ekonomi AS tersebut membuat pelaku pasar semakin yakin Bank Sentral AS The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuannya pada 14 Desember 2016, sehingga terjadi pergerakkan arus modal ke negara Paman Sam, yang akhirnya memperkuat kurs dolar AS dan memperlemah mata uang non-dolar AS, termasuk rupiah.

Gubernur BI menekankan volatilitas nilai tukar rupiah ini hanya bersifat sementara.

“Ini adalah kondisi temporer, dan kondisi temporer ini yang paling utama adalah karena kondisi di luar negeri,” kata Agus, yang juga Mantan Menteri Keuangan RI.

Selain ekseptasi kenaikan bunga acuan The Fed, volatilitas kurs rupiah juga karena ketidakpastian kebijakan ekonomi Presiden AS terpilih Donald Trump yang membayangi sikap dan keputusan para pelaku pasar.

Agus mengatakan pelaku pasar masih menunggu kepastian mengenai kebijakan fiskal Trump dan kabinet menteri yang akan membantunya. Pelaku pasar juga menyoroti, apakah Trump benar-benar akan merealisasikan kebijakan fiskal yang ekspansif, sehingga memperbesar nilai penerbitan surat utang ke pasar.

“Apakah akan ada defisit fiskal yang sangat besar karena pengurangan pajak yang besar, kemudian pengeluaran infrastruktur yang ditingkatkan dan apakan kemudian akan ada utang yang lebih besar di Amerika, dan juga bagaiman hubungan antara pemerintah dan The Federal Reserve,” ujar dia. (ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Eka