Jakarta, aktual.com – Salah satu tokoh besar dalam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah khususnya dalam masalah akidah yaitu Abu Musa al-Asy’ari dan Imam Maturidi. Abu Musa al-Asy’ari terkenal dengan akidah Asya’riyah, walaupun beliau merupakan Imam dalam masalah akidah Asya’ariyah beliau pernah mendalami akidah Mu’tazilah dalam waktu yang lama, berikut kisahnya:

Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq, salah satu keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Lahir di Bashrah tahun 260 H. Pada awalnya beliau berguru kepada salah satu tokoh Mu’tazilah sekaligus ayah tirinya yaitu Abu Ali al-Jubbai sehingga beliau tumbuh menjadi penganut aliran Mu’tazilah bahkan menjadi salah satu tokoh aliran tersebut.

Sedangkan dalam bidang fiqih beliau belajar mazhab Hanafi sebagaimana mayoritas para penganut Mu’tazilah pada masa itu. Kondisi islam pada saat itu yang semakin meluas memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Pada saat itu sedang maraknya penerjemahan segala bidang pengetahuan dari bangsa lain, tidak terkecuali filsafat yunani.

Dengan semakin stabilnya kondisi khilafah saat itu, semakin berkembang pula kajian-kajian pemikiran keagamaan , bahkan muncul pula kajian yang bernuansa kepercayaan lain sehingga menimbulkan aliran yang menyimpang bahkan sampai pada ateisme.

Dari situ berkembanglah perdebatan-perdebatan teologis, dan Mu’tzilah memiliki andil yang cukup besar dalam membela ajaran islam. Sedangkan kebanyakan muhaddis dan fuqoha pada saat itu lebih memilih tidak ikut campur dan mencukupkan pada dasar-dasar keimanan sebagaimana ajaran para sahabat Nabi. Sejak itu terjadi kerenggangan antara Mu’tazilah dan ahli hadis.

Kerenggangan itu semakin memburuk pada masa khalifah al-Ma’moen yang menjadikan Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara hingga terjadi fitnah Kholq al[1]Quran. Hingga pada masa al-Mutawakkil,ia menghentikan dukungan terhadap Mu’tazilah sehingga kondisi kembali stabil.

Tidak lama kemudian, muncullah golongan Hasywiyah yang terpengaruh oleh kepercayaan ahli kitab yang menisbatkan sifat-sifat makhluk kepada Tuhan mnnjserta menafsirkan ayat metasyabihat secara tekstual (Tasybih). Di sisi lain Mu’tazilah kembali muncul untuk menentang hal tersebut, tetapi mereka terlalu berlebihan dalam menghadapinya sehingga meniadakan sifat-sifat Allah (Ta’thil). Umat islam secara umum tidak mempercayai Mu’tazilah karena fitnah yang terjadi sebelumnya. Adapun ahli hadis mereka tetap berpegang kepada ajaran sahabat dengan menisbatkan sifat yang sesuai dengan kedudukan Allah, namun ajaran itu hanya tersebar di kalangan mereka sendiri.

Dalam kondisi inilah muncul Abu Hasan Al-Asy’ari dengan paradigma moderat antara Mu’tazilah dan Hasywiyah serta dengan mengusung aliran ahli hadis yang diperkuat dengan argumen logis sehingga beliau dapat meredakan ketegangan yang ada dengan menunjukkan titik terang di setiap permasalahan yang muncul.

Di sisi lain, beliau sangat objektif dalam menilai sesuatu, beliau sering menanyakan berbagai persoalan terkait aliran tersebut tapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dan menumbuhkan bibit kebimbangan atas aliran yang dianutnya, sehingga beliau terus melakukan penelitian dan semakin mendekatkan diri kepada Allah agar diperlihatkan kebenaran. Hingga saat beliau melewati usia 40 tahun, kebimbangan beliau mencapai puncaknya setelah beliau tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam permasalahan Shalah wa al-Ashlah yang merupakan salah satu dasar aliran Mu’tazilah, dan memutuskan untuk meninggalkan aliran yang telah lama dianutnya setelah beliau mendapatkan jawaban atas kebimbangannya dengan bermimpi sebanyak tiga kali bertemu Nabi Muhammad yang memerintahkannya untuk membela sunnahnya.

Kemudian setelah menyendiri selama 15 hari, beliau mengumumkan kepada para jamaahnya bahwa beliau meninggalkan aliran Mu’tazilah, dan menulis beberapa kitab yang melemahkan aliran Mu’tazilah, dan mendukung aliran para sahabat diperkuat dengan argumen yang logis.

Waallahu a’lam

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain