Kejaksaan Agung (Kejagung) dibayangi kasus makelar kasus (markus). Pengusaha Ferry Hongkiriwang alias Ferry Boboho disebut-sebut menjadi sosok tersebut. Kini menyandang status tersangka penculikan dan penganiyaan di Polda Metro Jaya, pengusutan perkaranya diharapkan menjadi pintu masuk membongkar markus di Gedung Bundar.
“Ah, sudah sering dia (Ferry) bolak-balik ke Gedung Bundar,” kata salah seorang sumber di lingkungan Kejagung. “Wartawan juga tahu kok, dia itu siapa,” selorohnya.
Ferry Boboho atau kerap pula disapa Ferry Hopeng dianggap sebagai orang dekat Jampidsus Febrie Adriansyah. Bahkan, sumber itu menyebut restoran yang dulu dikelola kelola keluarga Febrie di kawasan Kebayoran Baru, Jaksel, kini diurus Ferry.
Baca Juga:
Penggeledahan Rumah Jampidsus, Bukan Sekedar Kabar Miring
Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna menepis informasi tersebut. Ferry bukan orang dekat Jampidsus Febrie. Dirinya juga menegaskan tak ada praktik markus di Gedung Bundar. “Saya tak paham siapa itu Ferry Boboho,” kata Anang, belum lama ini.
Dia juga tak mau berspekulasi ketika disinggung apa mungkin, Jamwas Kejagung turun melakukan pengecekan memastikan kabar markus di Gedung Bundar. “Ah enggak ada (markus) itu.”
Akhir Juli 2025 menjadi momen kelam Ferry. Dia ditangkap penyidik Polda Metro Jaya di sebuah apartemen mewah. Di mana Ferry ditahan, tak diketahui pasti. Sekalipun begitu, kabar penangkapan telah terkonfirmasi dari SPDP tertanggal 30 Juli 2025 yang diterima Kejati DKI.
Baca Juga:
Intel Densus Ditagkap Bais TNI, Apa Kata Menko Polkam?
Kabut Senyap Markus Boboho
Senyap, Polda Metro Jaya dan Kejati DKI tak secara terbuka mengungkap detail kasus posisi Ferry. Beredar kabar, Ferry mengerahkan TNI untuk menyekap dan menganiaya personel Densus yang membuntutinya. Namun apa sebab Ferry harus diintai belum diketahui secara pasti, seolah perkara ini sengaja dibuat senyap.
Penangkapan Ferry beririsan dengan kabar penggeledahan kediaman Febrie di kawasan Kebayoran Baru, Jaksel. Kejagung dan Polri telah membantah peristiwa tersebut. Namun muncul spekulasi, Ferry tengah dibidik polisi lantaran dicurigai sebagai markus Gedung Bundar.
Kejagung diketahui mengusut banyak perkara besar. Dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil misalnya, penyidik pada Gedung Bundar menyita alat bukti mencapai Rp11,8 triliun dari lima korporasi Wilmar Group dan diklaim menjadi yang terbesar sepanjang sejarah. Belum lagi perkara-perkara lain yang tengah disidik seperti korupsi timah dan Pertamina yang bergulir sekarang ini.
Baca Juga:
Insiden Ferry Boboho: Sinyal Kuat Korps Adhyaksa Butuh Penyegaran
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso ikut menyorot kasus penangkapan Ferry. Dia mengecam tindakan TNI yang harus menyekap dan menculik anggota Polri. Namun dia menegaskan, apabila pengusutan kasus Ferry mengharuskan untuk menggeledah kediaman pejabat pada institusi hukum seharusnya tak dihalangi, demi membuat terang perkara.
Dirinya mencatat, sejak 2024-2025 sedikitnya terjadi dua kali penangkapan anggota Densus oleh personel TNI. Pertama Brigadir Iqbal Mustofa yang terciduk membuntuti Jampidsus Febrie oleh POM TNI, dan kini Briptu F yang ditangkap Bais TNI atas permintaan Ferry.
Sugeng yakin betul, langkah anggota Densus mengintai Ferry didasari informasi penting, yang berkaitan dengan perkara tertentu. Celakanya, Polda Metro Jaya selaku penyidik tak menjelaskan secara resmi kepada publik mengenai duduk perkara yang terjadi.
“Oleh karenanya publik perlu mendaparkan penjelasan apakah penguntitan tersebut adalah upaya menghalangi upaya pemberantasan Korupsi oleh Jampidsus Febrie atau memang ada dugaan pelanggaran hukum yang dikaitkan dengan Jampidsus dan warga sipil FYH yang sedang diselidiki oleh Polri melalui penugasan kepada Densus 88,” ujarnya.
“IPW mendorong pihak kepolisian untuk terbuka mempublikasikan apa sebenarnya yang terjadi dalam kasus penangkapan dan penguntitan anggota Densus 88 tersebut dan turun gunungnya Presiden Prabowo sangat dibutuhkan dalam menegur serta meluruskan fungsi dan tugas antara Polri, Kejaksaan dan TNI,” tambahnya.
Baca Juga:
Kabar Kocok Ulang Orang Nomor Satu di Korps Adhyaksa Bergulir
Bersih Bersih Gedung Bundar
Pakar hukum Abdul Fickar Hadjar menilai pengungkapan praktik markus di Gedung Bundar tak bisa dilakukan oleh jaksa maupun polisi. “Kasus penganiayaan bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap semua perbuatan F,” kata Fickar.
Kendati begitu, Fickar mengatakan, KPK harus ikut masuk bekerja sama dengan polisi. Tanpa keterlibatan KPK, dia menganggap praktik markus di Gedung Bundar hanya patah tumbuh hilang berganti. Satu diangkut, muncul pemain pengganti.
“Korupsi harus diberantas termasuk oknum-oknum di Gedung Bundarnya,” kata dia.
Baca Juga:
TNI Bukan Beking Kejahatan, Pengamanan Tak Halangi Proses Hukum
Penegakan hukum yang ideal, kata dia, harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sepanjang alat bukti mendukung, siapapun sosoknya harus ditindak. Untuk memastikan berjalannya proses hukum, transparansi menjadi kunci.
Fickar meyakini pula spekulasi terkait penanganan perkara Ferry sulit dibendung, lantaran sikap tertutup institusi hukum terkait. Malahan, boleh jadi Ferry sekarang sudah bebas karena menerima SP3. Sedangkan informasi praktik markus di Gedung Bundar, dibiarkan redup dengan sendirinya, tanpa ada keterangan terbuka termasuk dari Jampidsus.
“Inilah yang terjadi dalam kasus Jampidsus F, karena itu memicu spekulasi tentang penghentian kasusnya (SP3). Kejaksaan dan kepolisian harus transparan menjelaskan kepada publik tentang kasus yang terjadi demi satu dan lain hal untuk mengakhiri prasangka-prasangka yang justru akan merusak supremasi negara hukum Indonesia,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Erwin C Sihombing
Eka Permadhi

















