Jakarta, Aktual.com – Sebuah buku baru tersedia di toko buku Gramedia di Jakarta. Buku yang menceritakan perjalanan hidup Prof. Dr. Supandi, SH, M.Hum, Ketua Muda bidang Tata Usaha Negara pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Perjalanan hidupnya penuh lika-liku. Dari Pati menuju Deli. Perjalanan Panjang tentang epos peradaban manusia.
Siapa sangka, kakek buyut Prof. Supandi adalah seorang “tumenggung” dari Keraton Surakarta. Namanya Raden Matkasan. Beliau salah seorang pejabat Keraton Surakarta yang terlibat aktif dalam membantu perjuangan Pangeran Diponegoro dalam memerangi colonial Hindia Belanda dan pengikutnya. Selepas Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda dengan cara licik, Matkasan dan pengikutnya kemudian melipir ke Desa Tlutup di Pati, Jawa Tengah. Menjauh dari Keraton Solo. Banyak pengikut Pangeran Diponegoro semasa perang Jawa itu, bersembunyi di sana. Raden Matkasan kemudian memiliki anak Bernama Ki Tirtoleksono. Beliau tercatat sebagai pendiri Desa di pinggiran kota Juwana, Pati, Jawa Tengah itu.
Ki Tirtoleksono memiliki dua orang anak lelaki. Diantaranya Ki Ibrahim dan Ki Yusuf. Mereka berdua dikenal sebagai jawara dan ulama. Ki Ibrahim inilah kakek kandung Supandi. Suatu hari beliau cekcok dengan seorang “meneer” Belanda di pabrik tebu. Karena kala itu kota Juwana dikenal sebagai pusat perkebunan tebu dan pabrik gula. Ki Ibrahim bekerja di sana. Karena terjadi cekcok, Ki Ibrahim melawan dan mendorong seorang Belanda tadi ke mesin penggilingan tebu. Belanda itu pun mati.
Ki Ibrahim kemudian dikejar-kejar opas Belanda. Lalu dia lari dari kejaran itu. Karena masa itu Belanda masih mendominasi. Ki Ibrahim pun menuju Semarang. Sampai di Semarang, dia melihat ada sebuah kapal yang bersandar di Pelabuhan. Tak tahu tujuan kapal itu menuju kemana. Ki Ibrahim naik saja ke kapal itu bersama dengan orang-orang Jawa lainnya. Karena masa itu jamak jaman perkulian. Orang-orang dari tanah Jawa banyak dibawa ke tanah Deli. Ada juga yang ke Cape Town, Afrika Selatan. Bahkan ada juga yang ke Suriname, Amerika Latin sana. Nah, Ki Ibrahim kemudian lari ke Deli, Sumatera Utara. Dia bergabung bersama para kuli dari Jawa yang di bawa menuju Deli.
Sampai di Deli, Ki Ibrahim tak terdaftar sebagai kuli perkebunan. Alhasil dia menjadi guru mengaji di barak para pekerja perkebunan. Karena memang dia anak keturunan seorang ulama. Kakek buyutnya ulama besar di Keraton Surakarta. Ki Ibrahim kemudian menikah dengan seorang penjual “pecal” di Deli. Itulah nenek Supandi yang bernama Mbah Krentil. Mereka kemudian menetap di Medan, kota Saentis, Sumatera Utara. Hingga akhir hayatnya, mereka tak pernah kembali lagi ke tanah Jawa.
Tapi semasa hidupnya, Ki Ibrahim meninggalkan silsilah keluarganya kepada anaknya. Beliau memiliki salah seorang putera bernama Ngadimun. Inilah ayah kandung Supandi. Ngadimun ini pejuang kemerdekaan. Silsilah keluarga Ki Ibrahim diwariskan pada Ngadimun. Dan sewaktu Supandi masih kecil, Ngadimun sering menceritakan tentang kisah Ki Ibrahim dan silsilah keluarga itu padanya. Itulah yang menjadi ingatan bagi Supandi kemudian hari.
Perjalanan Supandi terus berlanjut. Dari dibesarkan di desa perkebunan di Saentis, Sumatera Utara, kemudian berlanjut terus. Hidupnya penuh perjuangan. Dia susah payah meneruskan sekolah. Dari Sekolah Rakyat, berlanjut ke SMP dan kemudian memasuki SMK di Medan. Jaraknya lumayan jauh, ditempuh dengan sepeda. Lulus SMK, kemudian melamar ke Akabri. Tapi kemudian tidak diterima. Dari sana dia memasuki Akademi Penerbangan Udara. Lalu Supandi pun berada di asrama di Curug, Tangerang.
Dirinya mulai memasuki tanah Jawa. Suatu Ketika, Supandi menceritakan kisah Ki Ibrahim, kakek kandungnya yang asal Pati, Jawa Tengah. Karena kebetulan ada mahasiswa Akademi Penerbangan yang juga berasal dari Pati. Ketika masa liburan tiba, Supandi ikut pulang kampung seorang kawannya itu. Dari sana dia mulai menelusuri Desa Tlutup, Juwana, Pati. Kampung halaman kakek kandungnya itu. Tapi Supandi hanya melihat-lihat saja.
Begitu selesai Pendidikan di Akademi Penerbangan, dia kembali ke Medan. Perjalanan ke Desa Tlutup itu dia ceritakan pada ayahnya, Ngadimun. Alhasil hal itu memecut semangat ayahnya untuk mengunjungi kampung halaman Ki Ibrahim itu. Jadilah kemudian Ngadimun dan istrinya, Ngadinem, menuju Desa Tlutup. Mereka berangkat berdua dari Medan dengan pesawat terbang. Sampailah Ngadimun dan istri di Desa Tlutup.
Kisah itu berlangsung sekitar tahun 1984. Itulah pertama kali sanak keluarga Ki Ibrahim menyambung obor kembali dengan keluarganya di Pati. Supandi pun beberapa tahun kemudian menyambangi kampung kakeknya itu dengan rombongan besar keluarganya dari Medan. Obor persaudaraan dari Deli ke Pati menyambung kembali.
Itu secuil kisah menarik dari buku biografi Prof Dr Supandi, SH, M.Hum itu. Judulnya “Bocah Kebon dari Deli.” Perjalanan hidup Prof Supandi yang penuh liku, bak kisah drama. Seperti dalam film-film dengan genre sejarah. Yang menyatakan pertautan antara keluarga yang terputus hubungan sejak jaman kolonialis Hindia Belanda yang kemudian menyambung Kembali di masa Supandi.
Kisah neneknya, Mbah Supirah yang diculik oleh anak buah Tjong Afie, agen tenaga kerja kuli di Medan, juga tak kalah menarik. Beliau diculik masa usia sekitar 14 tahun di Tulungagung, Jawa Timur. Lalu kemudian dibawa ke Deli, Sumatera Utara. Supirah terpisah dari keluarganya sejak umur segitu. Lalu kemudian berhasil Kembali ke Tulungagung, sekitar 60 tahun kemudian. Keadaan semuanya telah berubah.
Tapi pertemuan Supirah dan keluarganya di Tulungagung, sungguh suatu keadaan yang haru biru. Perjalanan yang mengharukan sekali. Buku ini sangat apik menceritakan bagaimana Supirah berhasil Kembali ke kampung asalnya. Diculik pada masa gadis, tapi kemudian Kembali setelah menjadi nenek. Tentu ini situasi yang tak biasa. Kembalinya Supirah itu dibawa oleh Supandi, Ketika beliau baru memasuki dunia hakim.
Bisa dibilang buku “Bocah Kebon dari Deli” ini dipenuhi kisah dramatis yang penuh lika-liku perjalanan hidup. Buku ini sangat menarik dibaca siapa saja yang ingin memahami bagaimana ‘Takdir” bekerja.