Jakarta, Aktual.com — Salat Jumat menjadi salah satu ibadah yang telah ditetapkan kewajibannya oleh Allah SWT kepada para hamba-Nya yang beriman melalui sebuah firman-Nya yang terdapat dalam surat Al Jumuah ayat 9. Kewajiban itu kemudian dijabarkan oleh Rasulullah SAW tertuju kepada selain para budak, kaum perempuan, anak-anak yang belum baligh, orang yang sedang sakit dan dipandang sebagai uzur, serta orang yang sedang dalam bepergian dengan jarak yang telah memenuhi radius rukhshah (boleh tidak Jumatan, red).
Namun, pertanyaannya bolehkah seorang Muslim salat Jumat di gedung perkantoran bukan di dalam Masjid?
Usai mendalami berbagai dalil yang terkait dengan salat Jumat baik dari Al Quran maupun Hadis, mayoritas Ulama Syafiiyyah berpandangan bahwa termasuk syarat sah pelaksanaan khutbah Jumat berikut salatnya harus diikuti oleh minimal 40 orang ahli Jumat (muslim, bukan budak, telah baligh dan dinyatakan sebagai penduduk tetap untuk satu daerah setempat yang mengadakan salat Jumat atau mustauthin).
Pertanyaan di atas pernah dibahas dalam musyawarah nasional alim Ulama pada tahun 1997 silam di Lombok dengan keputusan bahwa Salat Jumat tanpa mustauthin dan muqimin atau dengan mustauthin dan muqimin, namun tidak memenuhi syarat, hukumnya tafshil atau dirinci sebagai berikut:
1. Tidak sah. Berdasarkan mayoritas Ulama Syafi’iyyah. Sementara itu, Imam Syafi’i sendiri dalam qaul qadim yang dikuatkan oleh Al Muzanni memandang sah bila jumlah jemaah itu diikuti Mustauthin minimal empat orang.
2. Imam Abu Hanifah mengesahkan secara mutlak. Adapun rujukan yang digunakan adalah Risalah Bulugh Al Umniyah fi Fatawa Al Nawazil Al ‘Ashriyah karya Muhammad Ali Al Maliki:
بَلْ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ تَقْرِيْرِهِ عَلَى إِعَانَتِهِ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَيْنِ قَدِيْمَيْنِ فِيْ الْعَدَدِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ. حَكَاهُ عَنْهُ صَاحِبُ التَّلْخِيْصِ وَحَكَاهُ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ
Artinya: Bahkan guruku, Al Bakri bin Muhammad Syaththa, dalam catatan atas kitab I’anah at-Thalibinnya “Sungguh Imam Syafi’i punya dua qaul qadim tentang jumlah jemaah salat Jumat pula. Salah satunya yaitu, minimal empat orang. Pendapat ini dikutip oleh pengarang kitab Al Talkhish dan dihikayatkan Al Nawawi dalam Syarh Al Muhadzdzab.
Dalam Al Muhadzdzab yang disusun oleh Abu Ishaq Al Syairazi:
مِنْ شَرْطِ الْعَدَدِ أَنْ يَكُوْنُوْا رِجَالاً أَحْرَارًا مُقِيْمِيْنَ بِالْمَوْضِعِ فَأَمَّا النِّسَاءُ وَالْعَبِيْدُ وَالْمُسَافِرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ الْجُمْعَةُ لِأَنَّهُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمْعَةُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ كَالصِّبْيَانِ وَهَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيْمِيْنَ غَيْرَ مُسْتَوْطِنِيْنَ فِيْهِ وَجْهَانِ قَالَ أَبُوْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ لِأَنَّهُ تَلْزَمُهُمْ الْجُمْعَةُ فَانْعَقَدَتْ بِهِمْ كَالْمُسْتَوْطِنِيْنَ
Artinya: “Di antara syarat jumlah jemaah tersebut adalah, mereka terdiri dari laki-laki, merdeka dan menetap di suatu tempat. Adapun perempuan, budak dan musafir, maka salat Jumat tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, karena mereka tidak berkewajiban melaksanakan salat Jumat sehingga salat itu pun tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, sama seperti anak-anak.”
Apakah salat Jumat itu sah dengan jemaah terdiri dari para Muqimin (penduduk) yang tidak menetap. Dalam hal itu terdapat dua wajh; Abu Ali bin Abi Hurairah berpendapat: “Salat Jumat dengan mereka itu sah karena mereka berkewajiban salat Jumat, sehingga salat itu menjadi sah, sama seperti para penduduk tetap.”
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Zuhaili:
وَأَقَلُّهُمْ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٍ فِي اْلأَصَحِّ ثَلاَثَةُ رِجَالٍ سِوَى اْلاِمَامِ، وَلَوْ كَانُوْا مُسَافِرِيْنَ أَوْ مَرْضَى لِأَنَّ أَقَلَّ الْجَمْعِ الصَّحِيْحِ إِنَّمَا هُوَ الثَّلاَثُ
Artinya: “Dan jumlah minimal jemaah Jumat menurut Abu Hanifah dan Muhammad dalam pendapat Al Ashah adalah tiga orang selain imam, walaupun mereka itu Musafir dan orang sakit, karena minimal jumlah jamak yang sahih itu adalah tiga.”
Dari uraian ini ada beberapa pilihan bagi kita dalam menghadapi permasalahan ini:
Pertama, mengikuti pendapat mayoritas Ulama syafi’iyah yang menganggap jumatan tersebut tidak sah dengan konsekuensi karyawan kantor mencari kampung terdekat yang menyelenggarakan salat Jumat oleh penduduk setempat.
Kedua, mengikuti pendapat qaul qadim Imam Syafi’i dengan konsekuensi harus ada atau kalau perlu mendatangkan minimal empat orang penduduk di sekitar kantor untuk ikut salat Jumat di perkantoran.
Ketiga, mengikuti pendapat Imam Hanafi dengan konsekuensi mengetahui tata cara yang terkait dengan pelaksanaan salat Jumat mulai dari tata cara wudhu sampai dengan shalatnya berikut syarat,rukun dan hal-hal yang membatalkannya menurut madzhab Hanafi. Wallahu A’lam. (Sumber: Nahdlatul Ulama)
Artikel ini ditulis oleh: